Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memastikan pungutan bea keluar emas akan segera diimplementasikan pada tahun 2026 mendatang.
Nantinya, bea keluar akan dikenakan terhadap beberapa produk emas, antara lain dore, granules, cast bars, hingga minted bars.
Besaran tarif dalam usulan ini bersifat progresif, mengikuti perkembangan harga emas dunia atau Harga Mineral Acuan (HMA).
Ketika harga emas berada pada kisaran US$ 2.800 hingga di bawah US$ 3.200 per troy ounce, bea keluar akan dikenakan antara 7,5% sampai 12,5%. Namun jika harga melampaui US$ 3.200 per troy ounce, tarifnya meningkat menjadi 10% hingga 15%.
Baca Juga: Kenakan Bea Keluar Emas, Pemerintah Bidik Penerimaan hingga Rp 2 Triliun Per Tahun
Tarif tertinggi akan diterapkan untuk emas dalam bentuk dore, bongkah, ingot, atau batang tuangan. Sementara minted bars dikenakan tarif paling rendah.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menilai bahwa kebijakan bea keluar emas yang akan mulai diterapkan pada 2026 merupakan langkah penting untuk menata ulang struktur industri emas nasional.
Menurutnya, selama ini sektor emas tumbuh pesat namun tidak terikat pada kepentingan domestik.
"Lonjakan ekspor memang menguntungkan pelaku, tetapi tanpa instrumen kontrol negara sulit menjaga stabilitas harga, ketersediaan bahan baku, dan nilai tambah dalam negeri," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Senin (17/11).
Rizal menjelaskan bahwa bea keluar menjadi instrumen untuk mengembalikan posisi tawar negara dalam rantai nilai emas.
Baca Juga: Ekspor Emas Akan Dipungut Bea Keluar hingga 15% Mulai 2026
Ia menilai, preferensi eksportir ke pasar global bukan hanya soal margin keuntungan, tetapi juga karena ekosistem domestik belum terintegrasi kuat dari sisi harga acuan hingga serapan industri.
Karena itu, ia menegaskan bahwa bea keluar emas bukan sekadar disinsentif, melainkan alat untuk menata ulang struktur pasar.
Rizal menjelaskan bahwa ada tiga tujuan utama kebijakan tersebut, yakni menjaga pasokan emas di dalam negeri, memperkuat industri perhiasan dan manufaktur, serta meningkatkan penerimaan fiskal ketika ekspor meningkat.
Di sisi lain, ia menilai bahwa tarif tersebut bersifat progresif, di mana emas mentah dikenakan pajak lebih tinggi untuk mendorong hilirisasi serta memperluas basis penerimaan negara.
Dari sisi fiskal, Rizal melihat kebijakan ini berpotensi mendorong penerimaan negara terutama ketika harga emas global berada di posisi tinggi, karena tarif 15% hanya diaktifkan pada kondisi tertentu.
Baca Juga: Jadi Pendorong Inflasi, Airlangga Sebut Kenaikan Harga Emas Akibat Gangguan Produksi
Namun, ia mengingatkan bahwa efek fiskal tetap bergantung pada respons pelaku usaha. Jika tarif dianggap terlalu tinggi, ekspor emas mentah bisa tertekan, sementara volatilitas harga global dapat menciptakan ketidakpastian terhadap target penerimaan.
Secara makro, bea keluar emas dipandang sebagai instrumen yang kuat untuk menopang APBN 2026.
Namun keberhasilannya, menurut Rizal, sangat ditentukan oleh kejelasan aturan pelaksana seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan konsistensi kebijakan hilirisasi pemerintah.
Selanjutnya: Dominasi Batubara Belum Tergoyahkan, Kapasitas Listrik RI Tembus 107 GW
Menarik Dibaca: 14 Inspirasi Warna Cat Dapur yang Bikin Mood Naik dan Ruangan Terlihat Lebih Cerah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













