Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak menilai terdapat pelonggaran penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam draf omnibus law rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja.
Menanggapi hal itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, penggunaan TKA bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan profesional untuk bidang tertentu yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia.
Nantinya, melalui TKA tersebut juga diharapkan terjadinya proses alih teknologi kepada tenaga kerja Indonesia.
Baca Juga: Omnibus law atur PP bisa cabut UU, Yasonna: Ini mungkin kesalahan
"Penggunaan TKA tetap dibatasi dengan memperhatikan jabatan, kompetensi pekerjaan dan juga dalam hubungan kerja dan waktu tertentu dengan mempertimbangkan kondisi pasar kerja dalam negeri," kata Ida Fauziyah kepada Kontan.co.id, Senin (17/2).
Lebih lanjut Ida mengatakan, terkait adanya penolakan RUU tersebut dari sejumlah pihak. Ia mengatakan, pemerintah akan mensosialisasikan dengan pihak-pihak terkait.
"Kami akan sosialisasikan terus bersama dengan serikat pekerja atau serikat buruh dan Apindo, tim sudah kami bentuk. Dan nanti sosialisasi juga akan dilakukan bersama dengan DPR (hasil konsultasi dengan Pimpinan DPR )," ujar Ida.
Di tempat lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD mendorong, pihak-pihak yang menolak RUU Cipta Kerja untuk memberikan masukan karena ini baru berupa rancangan undang-undang.
"Kalau anda punya masukan, buruh punya masukan, sekarang waktunya. Silahkan datang ke DPR, nanti ada RDPU," kata Mahfud.
Baca Juga: Gapmmi: Omnibus law lancarkan ketersediaan bahan baku pangan
Kemudian, terkait adanya salah satu pasal yang menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah yang bisa mengubah ketentuan UU. Menurut Mahfud, hal itu tidak bisa dilakukan.
"Bahkan ada yang mengatakan UU ini bisa diubah, tidak bisa mana ada UU bisa diubah dengan PP, kalau ada muatan begitu di (rancangan) UU itu pasti salah, mungkin ketentuan lebih lanjut tentang UU nya diatur dengan Perpres bisa. Itu bisa diperbaiki dalam proses pembahasan ke depan," jelas Mahfud.
Sebagai informasi, bunyi pasal 170 yang terdapat dalam draf RUU Cipta Kerja menyebutkan.
Pasal 170
(1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
(2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.
Baca Juga: Omnibus law bisa jadi angin segar untuk investor asing, tapi..
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan terkait peraturan daerah (Perda) boleh dibatalkan oleh pemerintah pusat.
Yasonna mengatakan, hierarki perundangan mengatakan UU yang tertinggi tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih rendah. Dalam UU No.12 tahun 2011 juncto UU No. 15 tahun 2019, prinsip hierarki adalah jika perda tidak sesuai UU di atasnya maka bisa dicabut.
Pencabutan bisa melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden karena bertentangan dengan UU di atasnya. "Karena dia bertentangan dengan UU jadi jangan dinilai eksekutif review," ungkap Yasonna kepada wartawan.
Yasonna mengatakan, dalam konsep negara kesatuan, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden secara konstitusional. Akan tetapi, dalam menjalankan pemerintahan dimungkinkan menyerahkan kekuasaan ke pemerintah daerah melalui desentralisasi yang diatur dalam pasal 18 UUD 1945.
"Jangan dilihat otoriter karena kalau di bawah bertentangan gimana? Jadi gitu ya. Bukan sewenang-wenang," ucap dia.
Yasonna menyebutkan hal ini tidak bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga: RUU Cipta Kerja bakal menambah wewenang penyidik tindak pidana sektor migas
"Apakah ini bertentangan dengan keputusan MK? tidak, karena keputusan MK itu pure eksekutif review berdasarkan keputusan, dibuat melalui keputusan Mendagri (Menteri Dalam Negeri) dicabut nggak bisa. Ini yang kita buat nanti pencabutannya melalui peraturan perundangan, bukan eksekutif review seperti yang ada dalam MK. Jadi ini sudah kita kaji," jelas Yasonna.
Sebagai informasi, pada BAB XI Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja, Bagian Ketiga Pemerintah Daerah, disebutkan ketentuan pasal 251 UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 251
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota, yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan.
(2) Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden.
Baca Juga: Muncul wacana akan dibubarkan, begini kata SKK Migas
Ketentuan Pasal 252 juga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 252
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2), dikenai sanksi.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenai kepada kepala Daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang telah dicabut oleh Presiden, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News