kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,70   -25,03   -2.70%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kasus suap pajak dipicu lamanya proses hukum hingga 12 tahun lebih bagi WP


Senin, 05 April 2021 / 13:20 WIB
Kasus suap pajak dipicu lamanya proses hukum hingga 12 tahun lebih bagi WP
ILUSTRASI. Kasus suap pajak dipicu lamanya proses hukum hingga 12 tahun lebih bagi WP


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kasus suap pajak terjadi karena banyak faktor. Salah satunya adalah proses mencari keadilan pajak yang lama dan mahal. Saat ini, sesuai aturan yang ada, wajib pajak (WP) bisa membutuhkan waktu hingga lebih dari 12 tahun untuk mendapatkan kepastian hukum jika menghadapi sengketa pajak.

Selama proses itu, WP harus bayar pajak sesuai dengan utang pajak yang ditetapkan fiskus. Dengan proses yang panjang untuk mencari keadilan, WP dapat tergoda mencari jalan penyelesaian yang pintas.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, mengungkapkan, umumnya sengketa dimulai dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh kantor pajak. WP yang tidak terima bisa mengajukan keberatan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP).

Penyiapan surat keberatan butuh waktu 3 bulan. Setelah itu, proses penelaahan keberatan di Kanwil bisa mencapai 12 bulan sampai terbit Surat Keputusan Keberatan.

Baca Juga: Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ajukan 5 praperadilan perkara mangkrak lawan KPK

Jika keberatan WP ditolak Kanwil DJP, WP selanjutnya mengajukan banding ke Pengadilan Pajak (PP). Proses menyusun surat banding perlu waktu 3 bulan. Setelahnya, sejak surat banding diterima PP hingga sidang terakhir bisa memakan waktu hingga 12 bulan plus perpanjangan 3 bulan.

Dari sidang terakhir hingga keluarnya putusan dari pengadilan bahkan bisa memakan waktu yang jauh lebih lama. "Saya mengalami sendiri, dari sidang terakhir hingga pembacaan putusan banding bisa sampai 4 tahun. Sebab memang tidak ada aturan yang membatasi berapa lama waktu untuk pembacaan putusan di PP,” kata Prianto, Senin (5/4).

Apabila putusan banding di PP memenangkan WP, Ditjen Pajak hampir selalu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Menurut Prianto, ini karena fiskus khawatir, jika tidak mengajukan PK, mereka akan diperiksa oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Problemnya, proses PK sampai pembacaan putusan PK oleh MA bisa memakan waktu setahun hingga 2 tahun.

Artinya, proses pencarian keadilan mulai dari keluarnya SKP hingga keluarnya putusan MA bisa memakan waktu hingga lebih dari 8 tahun. Ini belum menghitung proses sebelumnya di awal saat penetapan dan penagihan pajak yang daluwarsa (lewatnya waktu) bisa mencapai 5 tahun.

Makanya, butuh waktu hingga lebih dari 12 tahun bagi wajib pajak untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum pajak.

Selama proses mencari keadilan dan kepastian hukum tersebut, WP juga biasanya meminta bantuan konsultan pajak. Artinya, ada tambahan biaya untuk wajib pajak. Selain itu, jika kalah di tingkat banding dan belum bayar utang pajak sesuai SKP, WP harus menyiapkan dana tambahan 100% untuk sanksi di luar utang pajak sesuai SKP.

Baca Juga: Begini kesiapan 3 bank ini lunasi obligasi jatuh tempo di April 2021

"Dengan kata lain, upaya hukum untuk memperoleh keadilan ternyata harus melewati proses yang sangat lama dan mahal," ujar pengajar ilmu administrasi fiskal UI tersebut.

Menurut teori rational choice dalam studi kejahatan, aksi kejahatan sesungguhnya mendasarkan diri pada pertimbangan dan evaluasi rasional. Teori yang dipelopori oleh Gary Becker (1930-2014), pemenang hadiah Nobel 1992 bidang ekonomi tersebut, beranggapan bahwa dalam memutuskan aksinya, pelaku kejahatan menimbang benefit (atau utilitas, menurut istilah ilmu ekonomi) dari aksi kejahatan, probabilitas untuk tertangkap, dan beratnya ancaman hukuman jika tertangkap.

Jika pelaku menilai benefit kejahatan sangat besar, probabilitas untuk tertangkap kecil, dan ancaman hukuman tidak menakutkan, pelaku akan cenderung memilih opsi kejahatan. Sebaliknya, jika pelaku menilai benefit tidak terlalu besar, probabilitas untuk tertangkap tinggi, dan ancaman hukuman menakutkan, pelaku cenderung tidak akan memilih opsi kejahatan.

Proses lama dan mahal untuk mendapatkan keadilan jika mengikuti prosedur hukum yang benar seperti diuraikan di atas, menurut Prianto, ikut memicu banyak wajib pajak mencari atau cenderung memilih jalan pintas.

Baca Juga: Soal perkembangan kasus dugaan suap pajak, ini penjelasan KPK

"Dengan menyuap oknum petugas pajak, apalagi kalau ditawari petugasnya sendiri, WP bisa mendapatkan kepastian hukum dalam waktu yang sangat singkat dengan beban pajak yang jauh lebih ringan," katanya.

Tidak bisa tidak, upaya memberantas penyuapan pajak harus dilakukan, salah satunya, dengan mengubah ketentuan proses keberatan dan banding pajak menjadi jauh lebih singkat. Ini akan memberi tambahan insentif bagi wajib pajak untuk memilih prosedur hukum yang benar daripada menyuap oknum petugas pajak.

"Selain tentunya meningkatkan probabilitas tertangkap dan sanksi yang lebih berat bagi wajib pajak yang terbukti menyuap," kata Prianto.

Selanjutnya: Ditjen Pajak catat realisasi pelaporan SPT Tahunan 2020 baru 9,9 juta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×