Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Pengakuan Jokowi yang menolak empat poin revisi UU KPK itu langsung dikutip mentah-mentah oleh banyak media. Situs resmi pemerintah seperti Setkab.go.id juga memuat pernyataan Presiden itu. Begitu pula dengan situs Setneg.go.id.
Akun Twitter milik Kantor Staf Kepresidenan (KSP), @KSPgoid, bahkan mencantumkan infografik terkait empat poin yang ditolak Jokowi. Infografik itu juga tersebar di media sosial.
Penyebaran informasi yang tidak akurat itu pun menuai kritik. Apalagi, peneliti Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menilai, pengakuan Jokowi menolak poin-poin revisi UU KPK itu didasarkan pada informasi yang tidak kredibel.
Baca Juga: Istana: Pemerintah banyak merevisi draf RUU KPK yang disusun DPR
Ia mempertanyakan kenapa Jokowi menolak hal yang memang tidak diatur dalam RUU KPK. "Ya berarti informasinya sendiri tidak kredibel, mosok informasi semacam itu dijadikan dasar membuat pernyataan resmi, memalukan Itu," kata Adnan kepada Kompas.com.
Peneliti ICW lainnya Donal Fariz curiga Jokowi disodori draf RUU KPK yang berbeda oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. "Bisa jadi presiden disodori draf yang lain sehingga bisa kecolongan. Hal ini semakin mempertegas bahwa presiden harus tarik Menkumham dari pembahasan RUU KPK," kata Donal.
Tak banyak berubah
ICW pun menilai, poin-poin dalam revisi UU KPK yang disampaikan Jokowi dalam jumpa pers sebenarnya tak banyak berubah dari yang diusulkan DPR. Misalnya soal keberadaan Dewan Pengawas KPK.
"Dewan Pengawas yang diusulkan DPR dan Presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis ijin penyadapan KPK," kata Adnan.
Konsekuensinya, penyadapan KPK prosesnya lambat, dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap. Penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika Dewan Pengawas tidak memberikan ijin. "Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis," kata dia.
Baca Juga: Jadi Ketua KPK, Firli Bahuri: Tidak ada persoalan
Kedua, terkait kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), juga hanya berubah dari sisi waktu. DPR mengusulkan KPK memiliki jangka waktu satu tahun dalam mengusut suatu kasus sebelum akhirnya bisa menerbitkan SP3.
Jokowi hanya meminta waktunya diperpanjang menjadi dua tahun. Adnan menilai waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks, tapi hanya bisa menangani kasus kecil.
Terakhir, Jokowi juga menyatakan persetujuan bahwa penyelidik dan penyidik KPK berstatus PNS. Tak ada usulan DPR yang diubah dalam poin ini.
Baca Juga: Artidjo dan Kwik Kian Gie cocok untuk menjadi Dewan Pengawas KPK
Adnan menilai aturan ini juga akan melemahkan KPK. Sebab, faktanya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang ada hari ini kinerjanya buruk, tidak dapat menangani kejahatan besar. PPNS di KPK juga harus tunduk pada mekanisme korwas yang dikendalikan oleh Kepolisian.
"Alih-alih KPK menjadi lembaga yang mensupervisi dan mengkoordinasi penanganan pidana korupsi, penyelidik dan penyidik KPK disupervisi oleh Kepolisian," ujar Adnan. Dengan fakta ini, ICW pun menyimpulkan, dosis berat pelemahan KPK hanya dikurangi sedikit oleh Presiden. "Tidak ada penguatan," ujar Adnan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Klaim Tolak Empat Poin Revisi UU KPK, Faktanya..."
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Ana Shofiana Syatiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News