kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jokowi klaim tolak empat poin Revisi UU KPK, ini fakta sebenarnya


Minggu, 15 September 2019 / 09:12 WIB
Jokowi klaim tolak empat poin Revisi UU KPK, ini fakta sebenarnya
ILUSTRASI. AKSI DUKUNG REVISI UU KPK


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo mengaku menolak sejumlah poin dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat.

"Saya tidak setuju terhadap beberapa subtansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9).

Jokowi lalu menjabarkan empat poin revisi yang disebutnya ia tolak. Namun faktanya, hanya dua poin yang benar-benar ditolak oleh Kepala Negara. Sebab, dua poin sisanya yang ditolak oleh Jokowi memang tidak pernah ada dalam draf revisi UU KPK yang disusun DPR.

Baca Juga: Tenaga Ahli KSP Ngabalin: Agus Rahardjo Ketua KPK baper dan kekanak-kanakan

Pertama, Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus mendapat izin penyadapan dari pihak eksternal. "Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperloleh izin (penyadapan) internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," kata Jokowi.

Namun, dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor. Dalam Pasal 12 draf revisi UU KPK, hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Selanjutnya, Jokowi juga mengaku tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. "Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," kata Jokowi.

Baca Juga: Jokowi ingin memperkuat KPK, ICW: Sesuatu yang delusi

Namun, lagi-lagi dalam pasal 45 draf RUU, memang sudah diatur bahwa penyidik KPK tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga penyidik pegawai negeri sipil.

Sementara, dua poin lainnya yang ditolak Jokowi memang diatur dalam draf revisi. Ketua KPK Agus Rahardjo (kedua kiri) didampingi para Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri) dan Laode M Syarif (kedua kanan) serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah bersiap memberikan keterangan pers di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9).

Pertama, Jokowi tidak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan. Poin ini diatur dalam pasal 12 A draf revisi UU KPK. Terakhir, Jokowi juga tidak setuju pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian/lembaga lain. Poin ini juga memang diatur dalam pasal 7 draf RUU KPK. Dengan mengaku menolak empat poin tersebut, Jokowi pun mengklaim bahwa revisi yang dilakukan bukan untuk melemahkan KPK.

Baca Juga: KPK minta bertemu DPR dan pemerintah untuk bahas revisi UU KPK

"Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama." Baca juga: Nilai Revisi UU KPK Dilakukan Tersembunyi, Pimpinan KPK: Ada Kepentingan Apa? "Saya ingin KPK punya peran sentral dalam pemberantasan korupsi, yang punya kewenangan lebih kuat dibanding lembaga-lembaga lain," kata Jokowi.

Pengakuan Jokowi yang menolak empat poin revisi UU KPK itu langsung dikutip mentah-mentah oleh banyak media. Situs resmi pemerintah seperti Setkab.go.id juga memuat pernyataan Presiden itu. Begitu pula dengan situs Setneg.go.id.

Akun Twitter milik Kantor Staf Kepresidenan (KSP), @KSPgoid, bahkan mencantumkan infografik terkait empat poin yang ditolak Jokowi. Infografik itu juga tersebar di media sosial.

Penyebaran informasi yang tidak akurat itu pun menuai kritik. Apalagi, peneliti Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menilai, pengakuan Jokowi menolak poin-poin revisi UU KPK itu didasarkan pada informasi yang tidak kredibel.

Baca Juga: Istana: Pemerintah banyak merevisi draf RUU KPK yang disusun DPR

Ia mempertanyakan kenapa Jokowi menolak hal yang memang tidak diatur dalam RUU KPK. "Ya berarti informasinya sendiri tidak kredibel, mosok informasi semacam itu dijadikan dasar membuat pernyataan resmi, memalukan Itu," kata Adnan kepada Kompas.com.

Peneliti ICW lainnya Donal Fariz curiga Jokowi disodori draf RUU KPK yang berbeda oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. "Bisa jadi presiden disodori draf yang lain sehingga bisa kecolongan. Hal ini semakin mempertegas bahwa presiden harus tarik Menkumham dari pembahasan RUU KPK," kata Donal.

Tak banyak berubah

ICW pun menilai, poin-poin dalam revisi UU KPK yang disampaikan Jokowi dalam jumpa pers sebenarnya tak banyak berubah dari yang diusulkan DPR. Misalnya soal keberadaan Dewan Pengawas KPK.

"Dewan Pengawas yang diusulkan DPR dan Presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis ijin penyadapan KPK," kata Adnan.

Konsekuensinya, penyadapan KPK prosesnya lambat, dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap. Penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika Dewan Pengawas tidak memberikan ijin. "Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis," kata dia.

Baca Juga: Jadi Ketua KPK, Firli Bahuri: Tidak ada persoalan

Kedua, terkait kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), juga hanya berubah dari sisi waktu. DPR mengusulkan KPK memiliki jangka waktu satu tahun dalam mengusut suatu kasus sebelum akhirnya bisa menerbitkan SP3.

Jokowi hanya meminta waktunya diperpanjang menjadi dua tahun. Adnan menilai waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks, tapi hanya bisa menangani kasus kecil.

Terakhir, Jokowi juga menyatakan persetujuan bahwa penyelidik dan penyidik KPK berstatus PNS. Tak ada usulan DPR yang diubah dalam poin ini.

Baca Juga: Artidjo dan Kwik Kian Gie cocok untuk menjadi Dewan Pengawas KPK

Adnan menilai aturan ini juga akan melemahkan KPK. Sebab, faktanya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang ada hari ini kinerjanya buruk, tidak dapat menangani kejahatan besar. PPNS di KPK juga harus tunduk pada mekanisme korwas yang dikendalikan oleh Kepolisian.

"Alih-alih KPK menjadi lembaga yang mensupervisi dan mengkoordinasi penanganan pidana korupsi, penyelidik dan penyidik KPK disupervisi oleh Kepolisian," ujar Adnan. Dengan fakta ini, ICW pun menyimpulkan, dosis berat pelemahan KPK hanya dikurangi sedikit oleh Presiden. "Tidak ada penguatan," ujar Adnan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Klaim Tolak Empat Poin Revisi UU KPK, Faktanya..."
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Ana Shofiana Syatiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×