Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi mulai membuat terobosan dengan gencar menerapkan pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian uang pada kasus-kasus dugaan korupsi yang disidiknya. Tak tanggung-tanggung, lembaga antikorupsi itu menggunakan dua UU TPPU sekaligus, yakni UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Meskipun masih ada pendapat hakim yang menilai jaksa KPK tak berwenang melakukan penuntutan kasus TPPU, jaksa KPK dapat membuktikan tuntutannya. Semua terdakwa yang dijerat TPPU divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Sebut saja mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan kawannya Ahmad Fathanah, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati, yang divonis hakim bersalah melakukan tindak pidana korupsi sekaligus pencucian uang.
Keempat orang itu dijatuhi hukuman berat dan hartanya yang dianggap terbukti berasal dari tindak pidana korupsi juga disita negara. Untuk mereka yang divonis pada 2013, yakni Luthfi, Fathanah, dan Djoko, lama hukumannya di atas 10 tahun penjara. Luthfi divonis 16 tahun penjara ditambah denda Rp 1miliar subsider 1 tahun kurungan dalam kasus suap dan TPPU kuota impor daging sapi.
Sejumlah harta Luthfi berupa rumah maupun mobil disita untuk negara. Dalam kasus yang sama, Fathanah divonis 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Sama halnya dengan Luthfi, harta Fathanah yang dianggap berasal dari tindak pidana korupsi juga disita negara.
Sementara itu, Djoko diperberat hukumannya di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar. Jenderal bintang dua yang tersangkut kasus korupsi simulator SIM ini pun diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara sekitar Rp 32 miliar subsider lima tahun kurungan seperti yang dituntut jaksa KPK. Belum lagi, harta Djoko yang dianggap berasal dari tindak pidana korupsi diperintahkan untuk disita negara.
Sayangnya, sebagian menilai penerapan TPPU oleh KPK belum kuat mencengkeram dalam kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah yang melibatkan anggota DPR, Wa Ode Nurhayati. Kasus Wa Ode merupakan yang pertama kalinya bagi KPK menerapkan TPPU. Akhir tahun lalu, majelis hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Wa Ode.
TPPU efektif miskinkan dan membuat koruptor jera
Ahli TPPU Yenti Garnasih menilai, penerapan TPPU oleh KPK efektif menimbulkan efek jera sekaligus untuk memiskinkan pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Yenti, dengan menerapkan TPPU, dua target utama KPK tercapai, yakni perampasan aset yang berujung pada pemiskinan, serta pemberatan hukuman pidana yang berujung pada terciptanya efek jera. "Ini menjerakan. Selain memiskinkan, tapi juga menjerakan karena tidak hanya korupsi, tapi juga TPPU. Terbukti kan pidananya di atas 10 tahun semua," ujar Yenti saat dihubungi Kompas.com, Senin (30/12/2013).
Dia mengungkapkan, dengan menggabungkan dua tindak pidana, yakni korupsi dan TPPU, majelis hakim yang menangani perkara tersebut tidak bisa main-main untuk menjatuhkan vonis rendah. Untuk ancaman TPPU nya saja, menurut Yenti, maksimal 20 tahun penjara. Belum lagi ancaman maksimal tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa.
"Pasal 3 TPPU saja misalnya, ancamannya maksimal 20 tahun penjara, lalu jika korupsinya juga maksimal 20 tahun penjara, tidak mungkin hukumannya di bawah 10 tahun. Ketika ada money laundering (pencucian uang), hakim enggak berani main-main karena melihat ancaman korupsinya berapa, lalu pencucian uangnya yang maksimal 20 tahun," tutur Yenti.
Tak cukup hanya mengandalkan Pasal 18
Yenti juga menilai, KPK tak cukup hanya mengandalkan penerapan Pasal 18 dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pidana tambahan berupa penggantian yang kerugian negara.
"Kalau Pasal 18, kasus Angelina Sondakh kan tidak pakai TPPU, tapi pakai uang pengganti. Uang pengganti itu kalau tidak dibayarkan bisa diganti dengan pidana penjara. Artinya enggak miskin kan," katanya.
Modus pencucian uang yang masih sederhana
Mengenai modus-modus pencucian uang selama ini, Yenti menilai masih sederhana. Dia mengatakan, pada umumnya, seseorang di Indonesia mencuci uangnya dengan membelikan mobil, rumah, atau dengan berinvestasi. Modus yang sedikit lebih canggih, lanjut Yenti, dengan sengaja mengalirkan uang atau investasi ke perusahaan-perusahaan yang sengaja didirikan untuk menyamarkan asal-usul harta.
"Perusahaannya hanya kamuflase untuk membuat rekening penampungan," ujar Yenti.
Berbeda dengan di negara lain, pencucian uang cenderung dilakukan setingkat lebih maju dengan mentransfer uang ke luar negeri. Menurut Yenti, ada tiga tingkatan modus pencucian uang, yakni placement atau penempatan uang tunai ke dalam sistem perbankan, layering atau mentransferkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem perbankan, dan integrasi yang merupakan gabungan dari dua modus sebelumnya.
"Kalau ditempatkan di satu rekening, diputar lagi dengan ditransfer ke rekening orang lain, ke mana-mana alirannya, dipindahkan lagi, itu layering, terakhir setelah ditransfer, digunakan untuk investasi pada perusahaan bonafide, itu integration," ujarnya.
Modus integrasi, lanjut Yenti, lebih canggih dari dua modus sebelumnya.
Modus ini bisa saja dilakukan dengan cara berinvestasi atau membeli saham suatu perusahaan ternama. Yenti mencontohkan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang terkait pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
"Ini lebih canggih karena kalau perusahaannya bonafide, akan sulit terlacak," ucap Yenti.
Selain itu, modus integrasi bisa dilakukan dengan sebelumnya mentransferkan uang ke luar negeri, lalu dimasukkan lagi ke Indonesia, untuk kemudian diinvestasikan dalam perusahaan ternama.
Penerima belum terjerat dan celah undang-undang
Meskipun membawa kemajuan, Yenti menilai KPK masih belum maksimal menerapkan TPPU. Menurut Yenti, KPK belum menjerat pihak-pihak yang disebut menerima aliran dana haram dari pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, menurutnya, Undang-Undang TPPU juga mengatur ancaman pidana bagi pihak yang menerima aliran uang tersebut.
"TPPU itu kan seperti penyuapan. Ada yang disuap, ada yang menyuap, ada yang aktif mengalirkan uang hasil kejahatan, ada pula yang menerima hasil korupsi. Aturan TPPU aktif itu Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010, yang pasif Pasal 5," katanya.
Selain itu, menurut Yenti, penerapan TPPU oleh KPK tidak akan optimal jika tidak dilakukan perubahan terhadap undang-undangnya. Yenti menilai masih ada celah dalam UU TPPU yang memungkinkan penafsiran hukum bahwa jaksa KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU.
"Sebaiknya segera diberikan aturan saja, sisipkan saja pasal bahwa KPK berwenang menuntut, KPK berwenang menyidik. Saat ini kewenangan pencucian uang baru penyidikannya saja, padahal kan kepentingannya juga sampai penuntutan," ujarnya.
Pengajar fakultas hukum di Universitas Trisakti ini lantas mencontohkan pendapat berbeda (dissenting opinion) dua anggota majelis hakim yang menangani kasus Luthfi mengenai kewenangan KPK ini.
Oleh karena itu,Yenti meminta pemerintah dan DPR memberikan keamanan kepada KPK untuk melakukan penuntutan TPPU di Pengadilan Tipikor. "Kan karena tidak ada dalam UU, diserahkan kepada penafsiran hakim," ucap Yenti.
Hingga pengujung 2013 ini, masih ada tiga kasus di KPK yang menerapkan TPPU, yakni kasus sengketa pilkada yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, kasus yang menjerat mantan Kepala SKK Migas, serta kasus dugaan pencucian saham perdana PT Garuda Indonesia yang melibatkan Nazaruddin.
Tiga kasus ini belum disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Bagaimana hasilnya nanti? Apakah ketiganya juga akan divonis lebih dari 10 tahun penjara? Nantikan pada 2014! (Icha Rastika)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News