Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inggris dan Jepang yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dikabarkan masuk ke jurang resesi.
Pemerintah dan ahli menilai kondisi saat ini belum akan berdampak pada mobilisasi pendanaan transisi energi ke Indonesia.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia dan IPG meluncurkan perjanjian internasional yaitu skema pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP), pada rangkaian acara KTT G20 di Bali November 2022 lalu.
Baca Juga: Resesi Negara Mitra, Indonesia Wajib Waspada
IPG dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia dan Inggris. Perjanjian internasional ini dituangkan dalam joint statement yang bersifat tidak mengikat.
Adapun implementasi JETP dengan nilai pendanaan sebesar US$ 21 miliar atau setara dengan lebih dari Rp 300 triliun berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah akan dimobilisasi pada 3 tahun sampai 5 tahun ke depan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menjelaskan sampai saat ini di tengah kondisi global yang ada, Jepang dan Inggris tetap berkomitmen untuk pendanaan JETP.
"Nantinya pendanaan JETP akan cair kalau proyeknya berjalan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (18/2).
Baca Juga: Susul Jepang, Ekonomi Inggris Nyungsep ke Jurang Resesi
Untuk mempercepat cair duit dari JETP, Kementerian ESDM akan mendorong proyek-proyek transisi energi di PLN, dan juga stakeholder atau pengembang lainnya.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan masuknya Jepang dan Inggris ke jurang resesi secara teknis karena pertumbuhan ekonominya selama dua kuartal berturut-turut negatif.
"Namun sifat resesi ini tidak permanen. Pendanaan JETP khususnya dari public finance seperti dari Jepang, Inggris, hingga Amerika seharusnya tidak berpengaruh karena mereka sudah mengalokasikan dana itu," ujarnya saat dihubungi terpisah.
Misalnya saja di Inggris, parlemen telah menyetujui budget JETP senilai US$ 1 miliar di mana dana ini seharusnya sudah diamankan dari jauh-jauh hari.
Dalam catatan Kontan, Inggris sudah menegaskan kesiapannya untuk mendukung program JETP Indonesia, termasuk di antaranya melalui World Bank Guarantee senilai US$ 1 miliar. Fasilitas tersebut akan memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan tingkat pinjaman berdasarkan ketentuan Bank Dunia hingga US$ 1 miliar.
Kemudian kalau Jepang, dimungkinan pendanaan disalurkan melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Saat ini sudah ada komitmen pendanaan dari JICA ke sejumlah proyek PLN.
Baca Juga: Ekonomi Inggris Jatuh ke Dalam Resesi, Jadi Tantangan Berat Bagi Rishi Sunak
"Pendanaan JICA bisa masuk lewat technical assistant (TA) atau penyiapan proyek. Jadi bukan uang kas dikasih, tetapi macam-macam instrumennya," jelas Fabby.
Selain Inggris dan Jepang, beberapa ahli juga memprediksi Amerika juga tidak kebal dari resesi.
Meski begitu, Fabby menyatakan tantangan pendanaan dari Negara Paman Sam bukan karena resesi, tetapi lebih kepada pada sistem pencairan bantuan bilateral yang harus mengantongi izin kongres.
"Saya melihat resesi tidak punya dampak terhadap pendanaan JETP tapi lebih kepada komitmen mereka untuk melaksanakan komitmen tanpa ada banyak restriksi," ujar Fabby.
Meski kondisi saat ini belum terlalu berdampak, Fabby mengingatkan, jika kondisi resesi makin serius pendanaan dari negara lain akan berkurang. Hal ini sejalan dengan upaya negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negaranya.
"Kalau resesi kan pendapatan negara berkurang. Jadi menurut saya yang harus diwaspadai dengan kondisi resesi masih mungkin terjadi komitmen pendanaan untuk semuanya akan berkurang," tandasnya.
Oleh karenanya, Fabby mendorong agar pemerintah Indonesia tidak terlalu ketergantungan terhadap bantuan internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News