Reporter: Andri Indradie, Lisa Riani, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Sekitar pertengahan Juli, Kartini Djamal, Bendahara Panti Asuhan Putri Aisyiyah terlihat terburu-buru mendatangi kantor Baitul Maal wa Tamwil Perdana Surya Utama (BMT PSU) di Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Lowokwaru, Malang. Ia tak peduli dengan keringat yang menetes di dahi dan melunturkan bedaknya.
Kabarnya, banyak orang sedang berkumpul di kantor BMT PSU untuk menuntut uang mereka kembali. Kartini pun sempat menelepon pihak BMT PSU untuk menanyakan hal ini.
Celaka tiga belas! Ketika sampai di kantor BMT PSU, Kartini mendapat kabar dari orang di situ, bahwa BMT PSU kolaps. Sudah tak ada lagi pegawai yang masuk kantor. Seketika, Kartini menangis.Tentu saja ia menangis, Sebab, uang yang ada di BMT PSU adalah duit tabungan anak-anak panti asuhan.
Ceritanya, lanjut Aning Rohani, Ketua Panti Asuhan Putri Aisyiyah, sejak berdiri 7 Juli 1996 dan disahkan Walikota Malang 1997, pihak panti sudah membiasakan anak-anak menabung dari uang saku mereka sendiri, terutama, ketika puasa sunah di hari Kamis.
“Jumlahnya tidak banyak, per anak hanya sekitar Rp 10.000. Tapi itu berlaku untuk semua anak yang sekarang jumlahnya 51 anak. Ada juga dana dari pengurus dan para alumni panti yang masih mengabdi,” kenang Aning kepada KONTAN, minggu lalu. Setelah semua uang terkumpul, biasanya, Kartini sebagai bendahara akan menyetor uang ke BMT PSU sebulan sekali.
Sejak tahun 2000, panti ini mulai menabung di BMT PSU. Sebelumnya, pihak panti biasanya menyimpan dana mereka di bank syariah. “Ketika itu kami ditawari salah satu pengurusnya. Dia meyakinkan kami koperasi ini bagus kinerjanya. Enggak (ada) riba. Kami percaya,” imbuh Aning.
Hingga akhir Juli, setidaknya sudah ada sekitar 11 orang yang sudah membuat laporan resmi ke pihak polisi sebagai korban BMT PSU. Kantor BMT PSU sudah diperiksa dan pihak polisi memanggil Nenny Rachmawati, Ida Rachmawati, dan Diah Kurniasih Rahayu untuk dimintai keterangan.
Haris Fajar, pengacara para karyawan BMT PSU, membenarkan, polisi sudah memanggil pihaknya untuk dimintai keterangan. Mereka adalah tiga orang dari 20 karyawan yang menjadi klien kantor pengacara Haris Fajar and Associates.
Masalahnya, Juli lalu, ada alumni panti yang sangat membutuhkan dana untuk melangsungkan pernikahan. Dana masih kurang Rp 3 juta. Kartini kebingungan lantaran dana sudah tak ada lagi yang tersisa. Akhirnya, atas dasar tanggung jawab, pihak panti meminjam dana dari anak pemilik panti.
Ya, alumni masih menabung di panti itu setidaknya setelah mereka lulus sekolah menengah atas selama satu tahun. Kata Aning, panti mewajibkan pihak alumni untuk mengabdi. Semacam membantu pekerjaan di panti dan usaha katering milik panti. “Kami berusaha membantu mereka untuk menyiapkan diri bila ingin melanjutkan ke perguruan tinggi atau berwirausaha kalau nggak mau kuliah. Jadi, mereka pakai uang tabungan mereka sendiri. Bisa juga mereka pakai saat mau nikah. Untuk nambah-nambah,” cetus Aning.
Tipikal investor
Biasanya, sih, ada tiga jenis tipikal orang yang terjerat penipuan investasi atau iming-iming imbal hasil alias return tinggi. Tak jarang di antara mereka akhirnya tertipu, lantaran semua itu kedok belaka alias bentuk pepesan kosong money game. Tiga jenis orang ini kalau tidak serakah, kurang melek keuangan, atau orang yang betul-betul kepepet butuh uang.
Masuk ke golongan mana pengurus Panti Asuhan Putri Aisyiyah?
Silakan Anda putuskan. Yang jelas, bukan kali ini ada penipuan oleh perusahaan berbadan hukum koperasi, lo. Anda tentu masih ingat kisah Koperasi Langit Biru (KLB) alias PT Transindo Jaya Komara, tiga tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, menurut catatan KONTAN, Juni 2012, KLB mengelabui 125.000 anggotanya dan meraup total dana hingga sekitar Rp 9 triliun. Paket investasi KLB berkisar antara Rp 385.000 – Rp 14 juta. Imbal hasil alias return yang ditawarkan mencapai 258,97% dalam dua tahun.
Ada lagi penipuan Koperasi Dharma Sejahtera Niaga (DSN) di Yogyakarta yang “berkedok” multi level marketing (MLM). Juni 2006, sekitar 7.000 orang menggugat lantaran tertipu dengan total dana sekitar Rp 5,6 miliar. DSN menawarkan model investasi yang menggiurkan dengan membayar saham Rp 900.000 lantas dikembalikan enam bulan berikutnya menjadi Rp 1,25 juta.
Para anggota juga mendapat kupon bulanan sebesar Rp 100.000. Selama enam bulan, mereka akan mendapat Rp 600.000. Alhasil, nasabah mendapatkan total pengembalian dana Rp 1,85 juta. Singkatnya, investor ini memperoleh keuntungan 100% dalam waktu enam bulan saja.
Atau, kasus investasi Koperasi Cipaganti (KC) Karya Guna Persada. Empat petinggi, yaitu Direktur Utama Cipaganti Andianto Setiabudi, Wakil Direktur Utama PT Cipaganti Cipta Graha Tbk Cece Kadarisman, Komisaris Utama Cipaganti Julia Sri Redjeki Setiabudi, serta Komisaris Cipaganti Yulinda Tjendrawati, sempat ditahan Polisi Daerah Jawa Barat karena adanya kasus ini.
Berdiri tahun 2002, koperasi Cipaganti menawarkan program kemitraan investasi ke masyarakat dengan imbal hasil 1,4%–1,7% per bulan. Semakin panjang tenor investasinya, makin besar imbal hasil yang bisa dinikmati dengan minimal investasi mulai dari Rp 100 juta.
Oleh koperasi Cipaganti, dana ini diinvestasikan ke usaha transportasi, alat berat, dan lainnya yang dikelola PT Cipaganti Citra Graha. KONTAN mencatat, Agustus tahun lalu, bos Cipaganti Andianto sempat menyebut, utang koperasi kepada para investor mencapai Rp 3,2 triliun.
Bashori Imron, 62 tahun, mulai menanamkan uangnya di Koperasi Cipaganti sejak 2009. Dia bercerita, menanamkan dana ke paket investasi KC sekitar Rp 1 miliar. Satu hal yang ia sadari, keserakahan dan kebodohan kadang-kadang membuat investor tak menggunakan akal sehat. “Tetangga saya malah ada yang menanamkan Rp 6 miliar,” ujarnya.
Pengawasan
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemkop) Choirul Djamhari mengakui, praktik-praktik investasi seperti itu masih sering terjadi. Sebab, banyak sekali koperasi yang berdiri tidak sesuai aturan dan syarat-syarat yang seharusnya.
“Kalau orang mengenal koperasi bodong, sebenarnya sih itu tidak ada,” ujarnya. Yang ada, lanjut Choirul, adalah koperasi yang berdiri tak sesuai payung hukum.
Lantas, ada juga koperasi yang secara hukum tak menyalahi aturan, namun pada praktik bisnis di lapangan telah melampaui kewenangan seharusnya. Contohnya, menawarkan paket-paket investasi meskipun ia belum mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop UKM) dan dinas-dinas di bawahnya terhadap koperasi hingga saat ini juga belum berjalan mulus. Menurut Choirul, masih banyak koperasi yang bersifat tertutup dan enggan membuka data-datanya. Mungkin saja, pemilik koperasi punya kekuasaan yang lebih tinggi dari kementerian? Entahlah.
Kata Choirul, pengawasan di koperasi pada dasarnya bersifat internal dan eksternal. Pengawasan oleh anggota sendiri yang bersifat internal sangatlah penting. Yang terjadi selama ini, biasanya lemah salah satunya atau lemah kedua-duanya.
Yang pasti, lanjut Choirul, tingkat pengawasan oleh Kemkop UKM berlaku untuk koperasi yang kegiatannya sudah mencakup tingkat nasional. Sementara koperasi-koperasi yang aktivitasnya di cakupan provinsi atau daerah, masuk ke dalam pengawasan Dinas Kemkop UKM di daerah tersebut.
Nah, selama ini Kemkop sudah mendata dan melakukan penilaian tingkat kesehatan koperasi yang kegiatan bisnisnya mencakup skala nasional, khususnya koperasi simpan pinjam (KSP). Jumlahnya 12.008 KSP dan 98.181 Unit Simpan Pinjam (USP) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Jadi total ada 110.189 koperasi, USP, dan UJKS.
Dari data Kemkop UKM yang diperoleh KONTAN, ada ukuran tingkat kesehatan koperasi dari mulai sehat, cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat, dan sangat tidak sehat. Dari total jumlah tersebut ada sekitar 6.778 sehat, 32.850 cukup sehat, 6.276 kurang sehat, 106 tidak sehat, dan 0 sangat tidak sehat.
Kementerian bahkan menemukan 67.241 koperasi yang ternyata tak melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) mereka. Sebanyak 62.234 koperasi di antaranya, telah resmi dibubarkan.
Pengamat ekonomi dan koperasi Subiakto Tjakrawerdaja bilang, pengawasan sangat penting. Terutama, mengembalikan fungsi koperasi untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan. Serta, tentu saja, mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.
Asal jangan memiskinkan dan makan korban, apalagi seperti penghuni panti asuhan.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 46-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News