Sumber: Kompas.com | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo menyatakan, pembatasan sosial akan dilakukan dengan skala yang lebih besar untuk mencegah penyebaran virus corona yang lebih luas di Tanah Air. Selain itu, Presiden Jokowi juga sempat mengeluarkan wacana bahwa langkah pembatasan ini bisa saja didukung dengan kebijakan darurat sipil.
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, lewat video conference dari Istana Bogor, Senin (30/3).
Baca Juga: Menku Sri Mulyani: Dampak virus corona penerimaan negara turun 10% tahun ini
"Sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata dia.
Sehari setelahnya, Jokowi kemudian memberikan penjelasan bahwa darurat sipil merupakan sekadar opsi dari berbagai skenario yang disiapkan pemerintah. Darurat sipil, kata Jokowi, akan diterapkan jika kondisi akibat Covid-19 dianggap tidak biasa.
"Semua skenario kita siapkan dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kemungkinan yang terburuk. Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal," ujar Jokowi dalam keterangan pers melalui sambungan konferensi video, Selasa (31/3).
"Perangkatnya kita siapkan. Sekarang ini tentu saja tidak," lanjut Jokowi.
Baca Juga: Bingung dengan pembatasan sosial skala besar? Ini bedanya dengan karantina wilayah
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud darurat sipil?
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan, sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 Presiden memang berhak menyatakan status keadaan bahaya. Penentuan status ini memiliki persyaratan dan ada sebab akibatnya yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, ia kemudian merujuk ketentuan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Undang-undang ini merupakan PRP atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU yang kini disebut Perppu, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya. "Isi dari UU PRP ini menyatakan keadaan bahaya itu terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan darurat perang," jelas Feri kepada Kompas.com, Selasa (31/3).
Keadaan, imbuh dia, menjadi terminologi yang digunakan. Ada tiga peristiwa yang menyebabkan ditentukannya suatu keadaan yaitu keamanan dan ketertiban yang dianggap akan mengganggu, terjadinya perang, dan keadaan khusus yang membahayakan hidup negara.
Baca Juga: Industri karoseri terpapar wabah virus corona akibat pemesanan yang menurun
Keadaan khusus inilah yang kemudian dimaknai sebagai keadaan lain yang salah satunya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. "(Di dalam UU Penanggulangan Bencana) mereka menggunakan terminologi kondisi," ucapnya.
Feri menjelaskan, dalam menetapkan status keadaan bahaya, perlu dijelaskan apa yang menjadi penyebab keadaan itu terjadi. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 disebutkan ada tiga kelompok bencana yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial.
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah menyatakan bahwa wabah Covid-19 yang kini berstatus pandemi global merupakan bencana non-alam.
Ketentuan terkait bencana non-alam ini diatur secara eksplisit di dalam Pasal 1 UU tersebut yang salah satunya diakibatkan oleh penyebaran wabah penyakit. "Kondisi itu kemudian harus ditingkatkan statusnya, apakah berbahaya atau tidak berbahaya. Pemerintah kemudian memilih menggunakan status keadaan bahaya dengan tingkatan darurat sipil," tuturnya.
Baca Juga: Ini penjelasan Menko Polhukam Mahfud MD soal tiga aturan baru penanganan virus corona
Lalu apa tindakan yang dilakukan saat darurat sipil?
Setelah menetapkan keadaan bahaya dengan tingkat darurat sipil akibat bencana non alam yang disebabkan penyakit, Feri mengatakan, pemerintah harus melakukan langkah strategis sebagai upaya untuk mengatasi pengendalian penyakit tersebut agar tidak menyebar lebih luas.
Dalam hal ini, pemerintah dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk melakukan sejumlah langkah-langkah yang dilakukan.
"Kalau diperhatikan, UU itu (Kekarantinaan Kesehatan) menggunakan bahasa tindakan, upaya. Jadi, ini merupakan tingkatan dari status tadi. Diumumkan status bahayanya, levelnya darurat sipil, dikarenakan apa? Bencana non-alam yaitu karena wabah penyakit. Apa tindakannya? Mengkarantina wilayah," kata dia.
Baca Juga: Pandemi corona menyebabkan proses divestasi 20% saham Vale Indonesia (INCO) tertunda
Presiden sendiri menyatakan akan menerapkan pembatasan sosial skala besar dalam menangani Covid-19. Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatasan itu merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Jika pada akhirnya Presiden menyatakan status darurat sipil dalam penanganan Covid-19, maka langkah selanjutnya yaitu memutuskan tindakan karantina seperti apa yang harus dilakukan sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Sesuai dengan UU tersebut, penentuan status karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sebab, hal ini akan turut berimplikasi pada pemenuhan hak-hak hidup masyarakat di kemudian hari.
Baca Juga: WHO gunakan istilah physical distancing, apa bedanya dengan social distancing?
"Kalau ujung dari keadaan bahaya ini adalah karantina wilayah, beberapa wilayah tertentu, maka ada tanggung jawab pemerintah pusat untuk kekarantinaan kesehatan masyarakat, bahwa mereka akan menjamin suplai dan segala macamnya. Itu kan bagaimana? Belum soal keuangan dan segala macam," kata dia. (Dani Prabowo)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jadi Opsi Terakhir, Ini Penjelasan Darurat Sipil dalam Konteks Bencana"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News