Sumber: Kompas.com | Editor: Tendi Mahadi
Dalam hal ini, pemerintah dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk melakukan sejumlah langkah-langkah yang dilakukan.
"Kalau diperhatikan, UU itu (Kekarantinaan Kesehatan) menggunakan bahasa tindakan, upaya. Jadi, ini merupakan tingkatan dari status tadi. Diumumkan status bahayanya, levelnya darurat sipil, dikarenakan apa? Bencana non-alam yaitu karena wabah penyakit. Apa tindakannya? Mengkarantina wilayah," kata dia.
Baca Juga: Pandemi corona menyebabkan proses divestasi 20% saham Vale Indonesia (INCO) tertunda
Presiden sendiri menyatakan akan menerapkan pembatasan sosial skala besar dalam menangani Covid-19. Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatasan itu merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Jika pada akhirnya Presiden menyatakan status darurat sipil dalam penanganan Covid-19, maka langkah selanjutnya yaitu memutuskan tindakan karantina seperti apa yang harus dilakukan sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Sesuai dengan UU tersebut, penentuan status karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sebab, hal ini akan turut berimplikasi pada pemenuhan hak-hak hidup masyarakat di kemudian hari.
Baca Juga: WHO gunakan istilah physical distancing, apa bedanya dengan social distancing?
"Kalau ujung dari keadaan bahaya ini adalah karantina wilayah, beberapa wilayah tertentu, maka ada tanggung jawab pemerintah pusat untuk kekarantinaan kesehatan masyarakat, bahwa mereka akan menjamin suplai dan segala macamnya. Itu kan bagaimana? Belum soal keuangan dan segala macam," kata dia. (Dani Prabowo)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jadi Opsi Terakhir, Ini Penjelasan Darurat Sipil dalam Konteks Bencana"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News