kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini sejumlah peraturan kontroversial pada zaman pemerintahan Jokowi


Senin, 05 Oktober 2020 / 21:17 WIB
Ini sejumlah peraturan kontroversial pada zaman pemerintahan Jokowi
ILUSTRASI. Presiden Joko Widodo memberi hormat ketika memimpin upacara HUT ke-75 TNI di Istana Negara Jakarta, Senin (5/10/2020).


Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah regulasi kontroversial, baik revisi maupun Rancangan Undang-Undang (RUU), muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Revisi UU dan RUU yang dibahas pemerintah bersama DPR itu pun menuai banyak kritik dan protes dari publik.

Namun, hal itu tak menghentikan pemerintah dan DPR dalam pembahasannya. Bahkan, beberapa di antaranya sudah sampai disahkan menjadi UU.

Berikut tiga regulasi yang menuai kontroversial:

1. UU KPK

Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan tentangan dari sejumlah pihak. Demo penolakan di sejumlah daerah terjadi karena dianggap melemahkan KPK.

Namun, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tersebut akhirnya pun disahkan pemerintah bersama DPR pada 17 September 2019. Tak ada satu pun partai di legislatif yang menolak pengesahan revisi UU KPK ini.

Baca Juga: Menko Airlangga yakin RUU Cipta Kerja bisa dorong pemerintahan lebih efisien

Sejumlah poin kontroversi dalam revisi UU KPK adalah:

Pertama, kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif. Padahal status KPK sebelumnya merupakan lembaga ad hoc independen. Perubahan kedudukan menjadi lembaga pemerintah itu berdampak pada status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Kedua, pembentukan Dewan Pengawas KPK yang tertuang dalam tujuh pasal khusus, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.

Selain mengawai tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas juga berwenang dalam beberapa hal, di antaranya memberikan izin atau tidak dalam penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Ketiga, izin menyadap. Dengan adanya revisi tersebut, KPK tak lagi bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, tapi harus izin Dewan Pengawas.

Selain itu, penyadapan yang telah selesai harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK dan Dewan Pengawas maksimal 14 hari.

Baca Juga: Dalam RUU Cipta Kerja, pesangon PHK turun jadi 25 kali upah

Keempat, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam waktu satu tahun.

Kelima, asal penyelidik dan penyidik. Dalam revisi itu, penyelidik harus berasal dari Kepolisian RI, sementara penyidik adalah pegawai yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

2. UU Minerba

Selain revisi UU KPK, yang menuai kontroversi kedua yakni regulasi terkait pertambangan mineral dan batubara (Minerba). RUU Minerba disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba pada 13 Mei 2020.

Partai Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak UU Minerba itu. Ada sejumlah poin di UU Minerba tersebut yang dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 169A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.

Melalui pasal tersebut, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masing-masing paling lama selama 10 tahun.

Penghapusan Pasal 165 soal sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUPK, dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) juga dinilai bertentangan dengan UU Minerba.

Selain itu, penghapusan Pasal 45 UU Nomor 4 Tahun 2009 juga memungkinkan pemegang IUP untuk tidak melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan.

Baca Juga: Pimpinan KPK perintahkan penerbitan supervisi kasus Djoko Tjandra

3. Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Pada Sabtu (3/10/2020) malam, DPR dan pemerintah telah menyepakati seluruh hasil pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Tercatat, hanya PKS dan Partai Demokrat yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut.

Calon regulasi tersebut pun akan dibawa ke Rapat Paripurna pada Kamis (8/10/2020). Artinya, tinggal selangkah lagi disahkan menjadi UU. Sejak akhir tahun lalu, kritik dan aksi protes telah digelar untuk menggagalkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan para pekerja.

Sebab, hak pekerja yang sebelumnya termuat dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 seakan disunat. Misalnya, total pesangon untuk pekerja yang terkena PHK maksimal hanya menjadi 25 kali upah, padahal sebelumnya 32 kali upah.

Selanjutnya, sistem kerja kontrak tak ada batasan yang dinilai bisa menyebabkan pekerja kehilangan akan kepastian status kerjanya. Serta, dihapuskannya upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang akan diganti dengan UMP (provinsi). Penghapusan itu bisa membuat upah pekerja lebih rendah.

Sumber: Kompas.com (Fitria Chusna Farisa/Rully R Ramli/Kiki Safitri/Retia Kartika Dewi | Editor: Icha Rastika/Yoga Sukmana/Sakinah Rakhma Diah Setiawan/Jihad Akbar)

 

Selanjutnya: Emil Salim sebut revisi UU KPK membawa kita kembali ke era korupsi

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sederet Regulasi Kontroversial di Masa Pemerintahan Jokowi", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/05/170600765/sederet-regulasi-kontroversial-di-masa-pemerintahan-jokowi?page=all#page2.

Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh
Editor : Jihad Akbar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×