Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengimbau kepada seluruh profesi keuangan baik akuntan publik, aktuaris publik, dan penilai publik untuk mengaktualisasikan dirinya menghadapi perkembangan ekonomi digital.
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan profesi keuangan sebagai salah satu penunjang utama bisnis keuangan harus terus menyiapkan, membekali dan mengembangkan integritas, profesionalisme, sinergi, layanan dan kesempurnaan pemberian jasa profesinya.
Berdasarkan data Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) profesi keuangan terus mengalami pertumbuhan. Pertama akuntan publik saat ini berjumlah 1.416 orang dan dalam tiga tahun terakhir rata-rata pertumbuhan profesinya adalah 7%, penugasannya tumbuh rata-rata 9% dan pendapatannya tumbuh rata-rata 22%.
Sementara itu, profesi penilai publik saat ini berjumlah 718 orang, rata-rata pertumbuhan profesi penilai publik dalam tiga tahun terakhir adalah 6%, penugasannya tumbuh rata-rata 5% dan pendapatannya tumbuh rata-rata 8% .
Kemudian, profesi aktuaris publik saat ini berjumlah 146 orang, rata-rata pertumbuhan profesi aktuaris publik dalam 3 tahun terakhir adalah 13,5%, penugasannya tumbuh rata-rata 1,5% dan pendapatannya tumbuh 40% dalam dua tahun terakhir.
“Peningkatan kapasitas dan kualitas SDM profesi keuangan, perbaikan kebijakan dan prosedur pengendalian mutu pemberian jasa, kepatuhan atas standard praktik dan kode etik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi prasyarat mutlak profesi keuangan yang unggul dan mendapatkan public trustdi masyarakat,” kata Hadiyanto di Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (7/10).
Dalam era digital, kebutuhan akan kerjasama regional dan internasional menjadi lebih diperlukan lagi mengingat dalam era ini ditandai dengan makin kaburnya batas-batas nasional borderless terkait perdagangan barang dan jasa.
Sehingga, Hadiyanto menilai profesi keuangan harus mampu beradaptasi secara cepat terhadap perubahan dinamika perekonomian dunia dan serta mampu menyesuaikan standar profesi yang merujuk pada standar internasional dengan mempertimbangkan regulasi dan kondisi yang berlaku di dalam negeri.
Diharapkan dengan adanya era digital serta munculnya perusahaan digital dan start-up, standar pelaporan keuangan harus menyesuaikan agar dapat mengcapture data-data atau nilai-nilai non keuangan yang dimiliki perusahaan digital tersebut agar dapat terefleksi dalam laporan keuangan sebagai alat pengambil keputusan.
Hadiyanto memberikan contoh pada tahun 2018, New York Times melaporkan bahwa Uber merencanakan IPO. Nilai Uber pada saat itu diperkirakan antara US$ 48 miliar-US$ 70 miliar, meskipun dalam laporan keuangannya Uber melaporkan kerugian selama dua tahun terakhir.
Selanjutnya Twitter melaporkan kerugian US$ 79 juta sebelum IPO, namun pada saat IPO di tahun 2013 diperkirakan nilainya adalah US$ 24 miliar, dan selama empat tahun berikutnya, Twitter terus melaporkan kerugian.
Demikian pula, dengan Microsoft membayar US$ 26 miliar untuk LinkedIn yang merugi pada tahun 2016, dan Facebook membayar US$ 19 miliar untuk WhatsApp pada tahun 2014 ketika tidak memiliki pendapatan atau laba.
Sebaliknya, harga saham raksasa industri GE telah turun 44% dibandingkan tahun lalu, sebagai akibat GE melaporkan berita kerugian pertamanya dalam 50 tahun terakhir.
Pertanyaannya, mengapa investor bereaksi negatif terhadap kerugian laporan keuangan untuk perusahaan industri tetapi mengabaikan kerugian tersebut untuk perusahaan digital?
Menurut Hadiyanto, fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa dibutuhkan reformasi pada standar pelaporan keuangan antara lain dengan melakukan penyesuaian dalam mekanisme pelaporan khususnya dalam penilaian, pengukuran dan pengakuannya terhadap asset tak berwujud, melakukan penambahan terhadap pelaporan keuangan dengan menambahkan informasi-informasi non keuangan yang terintegrasi (integrated reporting).
Untuk profesi penilai, kini terdapat suatu Automated Valuation Model (AVM), yaitu suatu metode penilaian dengan menggunakan permodelan matematika yang dikombinasikan dengan database. Secara global model ini masih dikembangkan di beberapa negara seperti Amerika, Kanada dan Swedia.
Namun, kata Hadiyanto ke depannya jika bisa digunakan secara optimal, maka akan ada perubahan proses bisnis yang signifikan dalam pekerjaan penilaian saat ini. Penilai yang menggunakan model ini akan menjadi lebih efektif dan efisien dalam memberikan jasa.
Sementara itu, profesi aktuaris juga tidak terlepas dari disrupsi akibat era digitalisasi. Perkembangan teknologi mengakibatkan munculnya inovasi-inovasi baru dalam industri asuransi, yang dapat menggantikan peran aktuaris oleh profesi lain.
Sebagai contoh, saat ini kita mengenal insurance technology (insuretech) pada dunia asuransi. Insuretech tersebut dikembangkan oleh profesi data scientist dengan memanfaatkan big data, artificial intelligence dan machine learning dengan penggunaan algoritma tertentu.
Perubahan ini tentunya akan menggeser industri asuransi konvensional menjadi berbasis digital dengan menekankan pemanfaatan big data.
Untuk itu, pemerintah berhadap profesi aktuaris diharapkan agar selalu beradaptasi dan berkembang dalam segala hal, tidak hanya dari sisi ilmu aktuaria, juga dalam hal pengolahan data, pemrograman, dan khususnya kemampuan bisnis.
Sehingga big data dapat menjadi alat baru bagi aktuaris untuk membawa ke level yang lebih tinggi.
Melihat contoh-contoh tersebut, Kementerian Keuangan mencatat dampak dari ekonomi digital bagi profesi keuangan terutama adalah adanya perubahan bisnis proses yang membuat metode konvensional dalam memberikan jasa tidak lagi sepenuhnya relevan untuk diterapkan.
Untuk itu, profesi keuangan mau tidak mau akan menjadi bagian yang akan melakukan sistem digitalisasi dalam memberikan jasa profesional. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi profesi keuangan untuk beradaptasi atau malah kehilangan daya saingnya apabila tidak merespon perubahan-perubahan ini.
Sinergi antara pemerintah dan profesi keuangan serta pelaku industri sangat diperlukan dalam memajukan perekonomian di masa yang akan datang. Pelaku profesi harus menerapkan long-life learning karena saat ini perubahan drastis dapat terjadi dalam kedipan mata.
Jika anda tidak terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan merespon cepat terhadap perubahan, maka anda sekalian akan menjadi tertinggal dan bisa jadi dalam 5 tahun ke depan, jasa penilaian, akuntansi maupun aktuaria akan digantikan oleh robot yang menggunakan sistem algoritma dalam menjalankan tugasnya.
“Sebagai seorang profesional, kita tentunya harus mampu menjaga independensi sebagai seorang pelaku profesi. Independensi dapat mempengaruhi kualitas output dari hasil pekerjaan seorang profesi keuangan,” ujar Hadiyanto.
Pemerintah menyadari dengan penuh bahwa hasil pekerjaan profesi keuangan mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi oleh pengguna jasa dan pihak-pihak lainnya. Seorang pengguna jasa yang datang tentunya memiliki kepentingan dan hasil pekerjaan kita akan digunakan oleh banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing.
“Oleh karena itu, perlu menjaga professional scepticism dalam memberikan jasa, jangan sampai kita terjebak dalam skenario kepentingan orang lain,” katanya.
Hadiyanto menambahkan integritas profesi ini akan menentukan seberapa besar diri anda layak dipercaya oleh orang lain. Integritas akan menghasilkan reputasi dan prestasi bagi anda sekaligus membangun brand untuk dapat dikenal oleh kalangan stakeholder.
Membangun public trust terhadap profesi ini tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu singkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News