Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tersendatnya penyaluran sisa Dana Bagi Hasil (DBH) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Pemprov DKI Jakarta jadi polemik. Masalah tersedatnya dana dari pemerintah pusat untuk pemda ini merembet ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Polemik ini bermula saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menangih pencairan kurang bayar DBH ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indawati. Pemprov DKI membutuhkan banyak dana untuk alokasi yang sifatnya mendesak, khususnya terkait penanganan virus corona (Covid-19) di ibu kota.
Belakangan, Kemenkeu enggan mencairkan sisa DBH ke Pemprov DKI Jakarta dengan alasan masih menunggu hasil pemeriksaan atau audit BPK. Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah pusat sudah menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil sebesar Rp 2,6 triliun kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun sisanya baru bisa dicairkan setelah audit BPK rampung.
Baca Juga: Kemenkeu terbitkan beleid dimana pemda bisa dapat hibah khusus tangani corona
“Sisanya kami akan segera, begitu kami sudah menyelesaikan laporan keuangan pemerintah pusat,” kata Sri Mulyani, Jumat (8/5/2020).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini merinci, pembayaran kurang bayar dana bagi hasil itu terdiri dari sisa kurang bayar pada tahun 2018 sebesar Rp 19,35 miliar dan tahun 2019 sebesar Rp 2,58 triliun dari total kurang bayar kepada Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 5,16 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah mengalokasikan kurang bayar dana bagi hasil tahun 2019 yang belum diaudit sebesar Rp 14,7 triliun yang sudah ditetapkan dalam PMK Nomor 36/PMK.07 tahun 2020. Dari jumlah itu, per April 2020 sudah disalurkan sebesar Rp 3,85 triliun untuk lima provinsi termasuk DKI Jakarta dan 113 kabupaten/kota.
Baca Juga: Anies tagih dana bagi hasil DKI ke Sri Mulyani, Staf Khusus: Audit BPK belum selesai
Bantahan BPK
Belakangan, BPK buka suara terkait pernyataan Sri Mulyani yang menunggu audit BPK untuk pembayaran DBH ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menegaskan, tidak ada kaitannya antara pemeriksaan BPK dengan pembayaran DBH. Menurutnya, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH.
"Tidak ada hubungannya. Saya sudah jelaskan kemarin tidak ada hubungan antara kewajiban pembayaran Kemenkeu kepada Provinsi DKI atau Pemerintah Daerah manapun terkait kurang bayar DBH dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Tidak ada hubungannya," tugas Agung, Senin (11/5/2020).
Agung menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Dia bilang, tidak ada ketentuan Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.
Pihaknya pun telah menyurati Kemenkeu terkait DBH kurang bayar hasil tahun anggaran 2019 pada tanggal 28 April 2020 lalu. "Silakan Kementerian Keuangan untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu, tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan (audit) BPK," pungkas Agung.
Baca Juga: Menkeu: Pemerintah sudah salurkan dana bagi hasil ke Pemprov DKI Rp 2,6 triliun
BPK bahkan sempat melayangkan surat ke Sri Mulyani terkait pembayaran DBH ke Pemprov DKI Jakarta. Lembaga audit negara ini menegaskan, penggunaan penyelesaian Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKPP 2019 sebagai alat ukur untuk melakukan pembayaran tidak relevan dalam konstruksi pelaksanaan APBN secara keseluruhan.
Menurut BPK, Kemenkeu sebenarnya dapat menggunakan realisasi penerimaan pada LKPP 2019 unaudited (belum diaudit) sebagai dasar perhitungan alokasi pembayaran DBH dengan tetap mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pembelaan Stafsus Sri Mulyani
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ikut buka suara soal tunggakan DBH pemerintah pusat ke Pemprov DKI Jakarta yang rencananya diperuntukkan untuk bantuan sosial (bansos). Seperti dikutip dalam twitternya, Yustinus sangat menyayangkan bila Pemerintah DKI Jakarta mengklaim Pemerintah Pusat terlambat membayar DBH DKI Jakarta yang sebesar Rp 5,1 triliun.
Baca Juga: Kemenkeu tunda pencairan DAU bagi Pemda yang belum lapor penyesuaian APBD
Faktanya, Pemerintah pusat masih menunggu audit dari BPK untuk realisasi DBH tahun 2019. Pasalnya, realisasi penerimaan baru terlihat setelah berakhir tahun buku sehingga angkanya lebih akuntabel. Di sisi lain daerah membutuhkan uang untuk penyelenggaraan pelayanan publik dan segala kebutuhannya.
Akhirnya Pemerintah Pusat mengambil solusi untuk membuat prognosa penerimaan objek DBH lalu disalurkan secara triwulanan. Meski, angka realisasi pasti belum diketahui. "Ketika audit BPK selesai, maka dihitung ulang sesuai realisasi dan dibayarkan ke daerah. Ada potensi kurang atau lebih bayar sesuai audit BPK, maka biasanya kalau ada kekurangan dari tahun-tahun sebelumnya sekalian dibayarkan ke daerah," kata Yustinus.
Yustinus menjelaskan, kurang bayar DBH untuk tahun buku 2019 biasanya diketahui pada 2020, sekitar bulan Agustus sampai November. Jadi, hasil audit DBH DKI Jakarta tahun 2019 baru selesai di tahun 2020. DKI punya hak atas kurang bayar DBH 2019 sebesar Rp 5,1 triliun.
Jika ada kurang bayar di tahun 2019, maka dibayarkan di tahun 2020 begitupun seterusnya. Namun audit BPK untuk tahun 2019 belum selesai.
"Ini yang jadi polemik karena seolah pusat punya utang ke Pemprov DKI dan tidak mau membayar/menahannya. Faktanya enggak gitu. Narasi menagih DBH layaknya orang berpiutang ini kan tidak dilakukan oleh Pemda-Pemda lain karena memahami kelaziman praktik pembayaran DBH," jelas Yustinus.
Justru, kata Yustinus, Pemerintah Pusat peka melihat situasi tidak normal sekarang ini akibat Covid-19. Pembayaran DBH yang kurang bayar ke Pemda termasuk DKI yang biasanya dibayar pada Agustus, dipercepat pada April. Sesuai PMK 36/2020, DBH DKI dibayar pada April sebesar 50% atau Rp 2,5 triliun.
"Jadi polemik dan kesimpangsiuran ini tak perlu terjadi ketika waktu meminta pembayaran DBH, jika Pemprov DKI tidak terkesan seperti orang nagih utang jatuh tempo dan belum dibayar. Meski ini hak, tapi aturan dan mekanismenya jelas. Tak ada mengemplang utang," sebut Yustinus.
(Sumber: KOMPAS.com/Fika Nurul Ulya | Editor: Bambang P. Jatmiko, Yoga Sukmana, Erlangga Djumena)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kronologi Polemik BPK Vs Sri Mulyani soal Dana Bagi Hasil untuk Anies Baswedan"
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News