Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, Omnibus Law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja.
"Sebaliknya, omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja," kata Said, dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/12)
Said mencatat, berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, setidaknya ada lima hal mendasar yang disasar omnibus law.
Pertama, menghilangkan upah minimum. Hal ini terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.
"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," ujar Said.
Baca Juga: KSPI: Jika sistem upah per jam terealisasi, ratusan juta pekerja kena PHK
Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
Said mengatakan, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum yang berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman.
Ia menyebutkan, di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.
"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," ujar dia.
Kedua, menghilangkan pesangon. Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai enam bulan upah.
Terkait hal ini, Said mengatakan, bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003 sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal sembilan bulan, dan bisa dikalikan dua untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 16 bulan upah.
Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 36 bulan upah lebih," ujar dia.
Ketiga, fleksibilitas pasar kerja/penggunaan outsourcing diperluas. Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja.
Menurut dia, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi," kata pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) itu.
"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada lima jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa dioutsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan," ucap dia.
Keempat, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi oleh tenaga kerja asing (TKA) unskill.
Baca Juga: KSPI sebut Indonesia belum siap terapkan sistem upah per jam, alasannya?
Menurut Said, dalam omnibus law ada wacana semua persyaratan TKA yang selama ini berlaku akan dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia.
"Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mustinya bisa ditempati oleh orang lokal diisi oleh TKA," ungkap dia.
Kelima, jaminan sosial terancam hilang. Said menilai, dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
Hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
Menurut Said, jika mencermati wacana omnibus law, ia menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalahan pekerja. Akan tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia.
"Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya di bawah upah minimum?," pungkas Said.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News