kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   -7.000   -0,37%
  • USD/IDR 16.255   69,00   0,43%
  • IDX 6.901   35,74   0,52%
  • KOMPAS100 1.004   4,88   0,49%
  • LQ45 768   3,99   0,52%
  • ISSI 227   1,02   0,45%
  • IDX30 396   2,65   0,67%
  • IDXHIDIV20 457   1,32   0,29%
  • IDX80 113   0,52   0,46%
  • IDXV30 114   -0,13   -0,12%
  • IDXQ30 128   0,82   0,64%

INDEF Prediksi AS Bakal Kenakan Tarif Impor RI Sekitar 10%-32%


Senin, 07 Juli 2025 / 19:23 WIB
INDEF Prediksi AS Bakal Kenakan Tarif Impor RI Sekitar 10%-32%
ILUSTRASI. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration. Penundaan pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan segera berakhir pada 9 Juli 2025.


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penundaan pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan segera berakhir pada 9 Juli 2025. Jika hingga batas waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan dagang bilateral, maka Negeri Paman Sam berpeluang kembali mengenakan tarif impor terhadap produk asal Indonesia mulai 1 Agustus 2025.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai peluang Indonesia menekan besaran tarif tersebut masih terbuka. Namun, ia mengaku pesimistis Indonesia bisa memperoleh tarif yang rendah.

“Kalau lihat polanya, banyak negara memang berhasil mendapatkan tarif yang lebih ringan. Tapi besaran tarif itu beda-beda. Saya kira kita tidak bisa dapat tarif serendah itu. Kemungkinan besar kita akan dikenakan tarif di kisaran menengah, antara 10% sampai 32%,” ujar Tauhid kepada Kontan, Senin (7/7).

Baca Juga: Negosiasi dengan AS Masih Berlangsung, Berharap Tarif Impor RI Tidak Lebih dari 20%

Ia menilai tarif di kisaran 20% sudah tergolong memberatkan bagi Indonesia. Terlebih, belum semua permintaan AS dalam proses negosiasi dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.

“Yang terutama sudah dipenuhi itu permintaan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan cara memperbanyak impor dari AS. Tapi permintaan lain masih sulit kita penuhi. Ini yang bisa jadi alasan mengapa tarifnya tidak turun terlalu rendah,” jelasnya.

Situasi makin kompleks setelah mantan Presiden AS Donald Trump kembali melempar ancaman tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia. Namun, Tauhid menilai ancaman tersebut belum berdampak dalam jangka pendek.

“Ancaman itu masih pernyataan pribadi. Belum ada surat resmi dari Presiden. Jadi belum menjadi kebijakan. Lagipula, negara-negara besar seperti Rusia dan China yang juga anggota BRICS pasti akan merespons keras jika tarif itu benar-benar diterapkan. Karena itu, saya kira kemungkinan tarif tambahan ini masih kecil,” ujarnya.

Adapun sektor ekspor yang dinilai paling rentan terhadap pemberlakuan kembali tarif AS adalah alas kaki, tekstil, dan sebagian elektronik. Sementara produk-produk pertanian, termasuk sawit, dinilai masih relatif aman.

Lebih jauh, Tauhid menyampaikan kekhawatiran terhadap dampak yang bisa ditimbulkan terhadap perekonomian nasional.

“Kalau tarif diberlakukan, efek langsungnya tentu penurunan ekspor ke AS. Tapi efek tidak langsungnya juga besar karena mitra dagang AS seperti China dan kawasan Asia Tenggara juga bisa terdampak. Permintaan global menurun dan ini berimbas ke kita,” tuturnya.

Menurutnya, kondisi ini bisa memperparah tekanan ekonomi nasional, terutama dari sisi ekspor dan potensi peningkatan impor akibat perluasan pasar negara lain seperti China.

Meski begitu, Tauhid menyebut Indonesia masih memiliki ruang untuk menghindari tekanan yang lebih dalam. Salah satunya adalah dengan memperkuat strategi perdagangan non-tradisional.

“Pemerintah harus siap dengan strategi jangka menengah. Kalau negosiasi ulang tidak berhasil, ya kita harus cari pasar lain. Kurangi ketergantungan terhadap pasar AS. Ini penting demi stabilitas ekonomi,” tegasnya.

Ia menambahkan, strategi jangka panjang harus difokuskan pada peningkatan daya saing produk dalam negeri dan penguatan pasar domestik.

“Kalau selama ini kita terlalu mengandalkan pasar AS, ke depan kita harus mulai perkuat daya saing agar bisa menembus pasar alternatif. Dan pasar domestik juga harus diperkuat agar tidak kebanjiran barang impor,” pungkasnya.

Baca Juga: Bank Mandiri Optimistis Penyaluran Kredit Sesuai Target Hingga Akhir Tahun 2025

Selanjutnya: Negosiasi dengan AS Masih Berlangsung, Berharap Tarif Impor RI Tidak Lebih dari 20%

Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 8-9 Juli, Siaga Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×