Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penundaan pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan segera berakhir pada 9 Juli 2025.
Jika tidak tercapai kesepakatan dagang bilateral hingga batas waktu tersebut, maka Negeri Paman Sam berpeluang kembali mengenakan tarif impor terhadap produk asal Indonesia mulai 1 Agustus 2025.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan besaran tarif yang mungkin dikenakan kepada Indonesia masih belum pasti. Namun, ia berharap tarif tersebut berada pada kisaran yang relatif kompetitif.
“Tentunya kita berharap berada di level Vietnam (20%) atau lebih baik. Kalau dengar update Menko Airlangga, tim kita berupaya melakukan berbagai strategi untuk mendapatkan deal terbaik, termasuk memperbanyak impor dari AS,” ujar Wijayanto kepada Kontan, Senin (7/7).
Baca Juga: Bank Mandiri Optimistis Penyaluran Kredit Sesuai Target Hingga Akhir Tahun 2025
Situasi semakin kompleks setelah mantan Presiden AS Donald Trump kembali melempar ancaman akan menambahkan tarif sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS. Indonesia, yang kini resmi bergabung dalam kelompok tersebut, berpotensi ikut terdampak.
“Seringkali Trump melempar ancaman yang belum tentu ia realisasikan. Kita berharap tarif tambahan 10% akhirnya tidak diterapkan. Namun jika diterapkan, ini adalah risiko yang harus kita ambil karena sebagai negara, Indonesia berani mengambil sikap,” ujarnya.
Wijayanto menilai, potensi kolaborasi antarnegara BRICS sangat besar, terutama dalam memperkuat perdagangan, mendorong investasi, dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS melalui pemanfaatan mata uang lokal.
Mengenai dampak dari pemberlakuan kembali tarif resiprokal terhadap perdagangan Indonesia-AS, Wijayanto menyebut hal itu sangat bergantung pada tingkat tarif yang dikenakan.
“Jika tarif yang dikenakan kepada Indonesia lebih besar dibanding negara kompetitor, maka akan ada penurunan ekspor kita ke AS. Tapi kalau sebaliknya, dampaknya bisa lebih ringan,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi risiko ini, ia menekankan pentingnya perbaikan daya saing ekonomi nasional serta diversifikasi mitra dagang dan investasi.
“Yang terpenting, apa pun kesepakatannya, kita harus kerja keras untuk memperbaiki daya saing ekonomi. Perluas kerjasama dagang dan investasi dengan negara lain, baik itu melalui jalur pemerintah, BUMN seperti Danantara, maupun swasta,” pungkas Wijayanto.
Baca Juga: WOM Finance Catat Piutang Pembiayaan Mencapai Rp 6,3 Triliun per Mei 2025
Selanjutnya: Harga Emas Melejit 3 Tahun Terakhir, Apakah Rally Masih Berlanjut?
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 8-9 Juli, Siaga Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News