Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Yudho Winarto
Kedua, dengan adanya bukti bahwa kegiatan pelaku usaha PMSE mempunyai significant economic presence, maka implementasinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
"Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan. Jadi memang benar-benar harus tepat sasaran," kata Nailul.
Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata, bukan seperti aset atau barang yang berwujud. Untuk itu, ia menyoroti agar pemerintah bisa lebih detail untuk mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen.
Keempat, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN.
Nailul menjelaskan, di dalam PMK masih ada celah bagi transaksi PMSE. Untuk itu pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.
Baca Juga: Siap-siap Ditjen Pajak akan buru wajib pajak badan dengan kriteria ini mulai 2021
Lebih lanjut, Nailul mengatakan dari sisi pemerintah, implementasi pengenaan PPN saat ini merupakan waktu yang sangat tepat trafik digital di Indonesia pasti akan meningkat karena adanya kebijakan work from home (WFH).
Namun, dari sisi konsumen tentu pengenaan PPN akan sangat memberatkan. Ini karena, konsumen akan menanggung semua biayanya sendirian. Jadi karena kebijakan WFH, mau tidak mau konsumen harus membayar atau mencari cara lain yang lebih terjangkau untuk mengakses barang dan/atau jasa digital.
Sebagai solusi, Nailul menyarankan pemerintah bisa memilih transaksi digital mana dulu yang harus dikenakan PPN, serta mana yang harus dibiarkan dulu layanannya berjalan tanpa PPN guna memberikan produk ke masyarakat secara murah.
Artinya, dalam penerapan awal nanti pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, sesuai dengan produk prioritas yang bisa dikenakan PPN agar masyarakat bisa menyesuaikan diri secara perlahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News