Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
Jika demikian, lanjut Bhima, neraca perdagangan Indonesia-Eropa dipastikan akan defisit, khususnya di sektor pertanian. “Ini menjadikan kondisinya akan semakin buruk dibandingkan dengan sebelum perjanjian IEU-CEPA diberlakukan,” kata Bhima.
Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah Indonesia sangat berkepentingan memasukkan sawit sebagai komoditas utama yang akan dinegosiasikan dalam perjanjian IEU-CEPA.
Hal itu pun diketahui Eropa. Selama ini, Eropa diketahui tidak mau menyertakan sawit dalam lanjutan perundingan CEPA. Namun, semua tergantung sikap pemerintah apakah akan melanjutkan perundingan atau tidak.
Baca Juga: Harga saham sektor CPO masuk zona hijau, begini rekomendasi analis
Bila dilanjutkan, Bayu pun meminta pemerintah tetap memasukkan sawit dalam pembahasan perundingan IEU-CEPA. Menurutnya, sawit merupakan komoditas yang memiliki posisi tawar penting dalam perundingan ini. “Intinya sawit tetap perlu jadi bargaining point penting dalam perundingan dengan Eropa,” katanya.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia mengakui sawit sebagai komoditas strategis yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Selain Eropa, menurutnya, peluang ekspor CPO ke China juga terbuka lebar. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu bakal mencari sejumlah komoditas alternatif asal Indonesia yang berpotensi mendongkrak ekspor.
Akibat perang dagang, industri di China bakal mencari sumber energi yang lebih murah dan batubara menjadi salah satu alternatif. Selain itu ekspor minyak sawit atau CPO juga berpotensi meningkat karena China bakal mengganti minyak kedelai yang selama ini diimpor dari Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Mahkota Group (MGRO) resmi akuisisi PKS, begini dampaknya ke bisnis perseroan
"Saya melihat bakal ada perbaikan kinerja ekspor di tahun depan, selain karena meningkatnya permintaan, harga komoditas diperkirakan bakal kembali membaik di tahun depan. Apalagi dua komoditas andalan Indonesia, CPO dan batubara. Tapi itu semua belum pasti juga karena ketidakpastian global cukup tinggi," kata Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News