Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Investment Authority (INA) menegaskan pentingnya Foreign Direct Investment (FDI) dalam pembangunan Indonesia.
Meski ada pro dan kontra mengenai FDI, INA menekankan bahwa investasi asing dapat memberikan dampak positif jika dikelola dengan baik.
CEO Indonesia INA, Ridha Wirakusumah, mengatakan, sejak berdiri pada 2022 lalu, INA telah menginvestasikan sekitar US$ 4 miliar atau setara Rp 65,4 miliar bersama mita dari 14 negara.
Salah satu fokus utama investasi adalah sektor kesehatan. Ridha menyebut, INA kini menjadi bagian dari jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia, mendatangkan konglomerasi Hong Kong Swire Pacific, serta membangun Rumah Sakit Internasional Bali yang akan mempekerjakan dokter asing pertama di Indonesia.
Baca Juga: Perusahaan Migas Kuwait Bakal Investasi Rp 155 Triliun di Sektor Migas Aceh
"Kami mulai dari nol, kini kami menjadi bagian dari jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia," ujar Ridha dalam acara Indonesia Economic Summit di Shangri-La Hotel, Rabu (19/2). Selain itu, INA juga tengah membangun pabrik plasma darah yang saat ini penyelesaiannya telah mencapai 52%.
Ridha menekankan bahwa produksi plasma darah sangat penting untuk mencapai kedaulatan kesehatan nasional, mengingat saat ini Indonesia masih mengimpor 100% kebutuhan plasma seperti albumin dan imunoglobulin.
"Jadi hari ini dengan pabrik itu, yang penarikannya akan dimulai pada bulan Februari, pabrik itu akan benar-benar selesai pada akhir tahun ini," katanya.
Sementara itu, dalam industri kendaraan listrik, INA berinvestasi dalam produksi katoa lithium ferro-phosphate (LFP), meningkatkan kapasitas produksi dari 30.000 ton menjadi 120.000 ton, yang akan menjadi fasilitas produsen katode LFP terbesar di dunia di luar Tiongkok.
Baca Juga: Indonesia Investment Authority (INA) Fokus Membidik Empat Sektor Investasi
Di sektor infrastruktur, INA telah bermitra dengan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dan APG Asset Management (APG) untuk mendanai Trans Sumatera selama 50 tahun.
Ia menekankan, kerja sama dengan investor asing harus dilakukan dengan cara yang saling menguntungkan, bukan sekedar eksploitasi sumber daya.
"Jika kita bekerja sama dengan mereka, kita tidak boleh menjadikan FDI sebagai kejahatan, yang seperti ekstraksi dan kemudian kita menjadi miskin. Namun, kami dapat mewujudkannya dengan cara yang saling menguntungkan," katanya.
Selanjutnya: UU Minerba Baru Dinilai Berpotensi Hambat Target Hilirisasi Pemerintah, Ini Alasannya
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Festive sampai 20 Februari 2025, Wafer Cokelat-Sirup Diskon 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News