Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA.. Pemerintah resmi mengerek tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per awal Juli 2020. Beleid tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Untuk peserta kelas I dan kelas II siap-siap merogoh kocek lebih dalam untuk membayar iuran BPJS kesehatan. Aturan yang itu menyebutkan untuk BPJS Kesehatan kelas I sebesar Rp 150.000 dan kelas II sebesar Rp 100.000. Adapun kelas III adalah Rp 42.000.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan kenaikan iuran BPSJ Kesehatan menunjukan sikap pemerintah yang tidak punya empati.
“Dengan segala kompleksitasnya, kenaikan BPJS Kesehatan di tengah pandemi, cenderung kurang tepat waktunya dan kurang menunjukkan empati pemerintah terhadap kondisi rakyat. BPJS kesehatan ini, instrumen untuk menjamin kesehatan rakyat, atau sekedar pengelolaan bisnis?” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Minggu (17/5)
Baca Juga: Pemerintah tidak merespons rekomendasi KPK terkait defisit BPJS Kesehatan
Lebih lanjut Ajib bilang filosofi asuransi kesehatan adalah gotong royong untuk menanggung beban kesehatan secara bersama-sama. Jadi salah satu hak rakyat yang mendasar tentang kesehatan sesuai dengan UUD 1945, bisa terlindungi.
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan naik di tengah pandemi, pemerintah: Negara sedang sulit
Problemnya, kenaikan iuran kesehatan ini terjadi ketika pandemi Covid19 sedang melanda Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2020 hanya 2,97%, bahkan pada kuartal II-2020 saat ini diprediksikan mendekati 0%. Di sisi lain, rata-rata inflasi terjadi di angka 2,9%.
“Angka ini menunjukkan, sedang terjadi reduksi tingkat kesejahteraan rakyat. Ability to pay masyarakat sedang terkonstraksi,” ucap Ajib.
Pada dasarnya, kenaikkan iuran BPJS Kesehatan karena tidak seimbangnya neraca pengelola. Masih lebih banyak uang keluar daripada uang masuk.
Namun, Ajib bilang pemerintah juga perlu memperhatikan bagaimana pengelolaan secara bisnisnya. Apakah ada inefisiensi di internal pengelola, apakah ada analisa tagihan kesehatan yang over dari rumah sakit.
“Terlalu complicated kalau membedah penanganan pengelolaan dana ini. Tapi, intinya, neraca belum seimbang sehingga membutuhkan dana lebih banyak masuk,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News