Reporter: Grace Olivia | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mengawali tahun, harga komoditas minyak mentah dunia melonjak akibat ketegangan politik antara Amerika Serikat (AS) dan Iran. Harga minyak acuan AS atau west texas intermediate (WTI) sempat mendekati US$ 65 per barel, level tertinggi sejak April 2019.
Volatilitas harga minyak mentah dunia kerap menjadi momok bagi neraca perdagangan Indonesia. Sebab, neraca dagang masih dihantui oleh defisit perdagangan minyak dan gas (migas) yang besar setiap tahunnya.
Neraca dagang pada November lalu misalnya, mengalami kenaikan defisit menjadi US$ 1,33 miliar yang disebabkan oleh melonjaknya defisit neraca migas menjadi US$ 1,03 miliar. Secara kumulatif, defisit neraca migas sepanjang Januari-November 2019 mencapai US$ 8,31 miliar.
Baca Juga: Analis: Kenaikan harga minyak dunia bersifat situasional dan jangka pendek
Mohammad Faisal, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai, kinerja neraca perdagangan sepanjang tahun 2019 sejatinya lebih positif jika dibandingkan tahun 2018. Salah satu faktor terbesarnya ialah defisit migas yang berhasil ditekan dari posisinya yang melambung mencapai US$ 12,7 miliar sepanjang 2018.
“Oleh karena itu kami proyeksikan defisit neraca dagang sepanjang 2019 secara keseluruhan hanya di sekitar US$ 4 miliar. Artinya, turun lebih dari separuh defisit neraca dagang tahun 2018 yang mencapai US$ 8,7 miliar,” tutur Faisal saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/1).
Adapun tahun ini, Faisal melanjutkan, CORE telah memproyeksi defisit neraca perdagangan akan semakin menyempit. Namun, sentimen perang AS-Iran yang menyulut harga minyak mentah dunia membuat proyeksi tersebut goyah.
Baca Juga: Volatilitas harga minyak meningkatkan risiko fiskal
Dengan eskalasi ketegangan yang cukup tinggi saat ini, Faisal mengatakan, bukan tak mungkin harga minyak mentah terkerek naik ke level US$ 80 sampai dengan US$ 100 per barel. Pasalnya, sentimen geopolitik seringkali mempengaruhi pergerakan harga komoditas dari sisi psikologis dan ekspektasi dari para pelaku ekonomi, sehingga harga tidak benar-benar mencerminkan kondisi supply dan demand yang terjadi. Akibatnya, terjadi lonjakan harga yang tidak wajar.
“Tergantung seberapa lama durasi ketegangan ini berlangsung ke depan,” tegasnya.
Semakin lama durasi ketegangan AS-Iran dan semakin tinggi harga minyak terkerek naik, maka dampak ke pelebaran defisit neraca dagang pun akan semakin besar. Bukan tak mungkin, defisit neraca dagang tahun ini bisa kembali memburuk mendekati posisi defisit pada 2018.
Faisal memprediksi, defisit neraca dagang bisa mencapai kisaran US$ 7 miliar tahun ini jika kenaikan harga minyak benar-benar mencapai kisaran US$ 80-US$ 100 per barel. Di satu sisi, harapannya ada perbaikan marginal di sisi neraca nonmigas akibat ekspor yang diproyeksikan membaik. Namun, di sisi lain, neraca migas kembali terancam memburuk defisitnya.
Baca Juga: OPEC kembali memangkas produksi, ICP Desember naik jadi US$ 67,18 per barel
“Tak hanya berdampak ke neraca perdagangan, ketegangan geopolitik AS-Iran dan harga minyak yang tinggi secara berkepanjangan akan sangat buruk bagi perekonomian secara keseluruhan. Misalnya, dampak ke inflasi akibat kenaikan biaya produksi dan harga penjualan barang-barang,” pungkas Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News