Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi saling serang pasukan Amerika Serikat (AS) dan Iran meningkatkan tensi geopolitik yang berdampak pada harga komoditas minyak mentah dunia sepekan terakhir.
Pagi ini, Rabu (8/1), harga minyak west texas intermediate (WTI) melonjak 3,41% ke US$ 64,84 per barel dari harga penutupan kemarin pada US$ 62,70 per barel. Harga minyak acuan AS tersebut kembali menyentuh level tertinggi sejak April 2019.
Dalam mengelola APBN, pemerintah telah menganalisis sejumlah risiko fiskal. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan melalui dokumen Pengungkapan Risiko Fiskal yang dihimpun Kontan.co.id, mengungkap, volatilitas harga minyak mentah dunia menjadi salah satu sumber risiko fiskal yang signifikan.
Baca Juga: Dana repatriasi tax amnesty diprediksi masih bertahan di Indonesia
Salah satunya dari sisi sensitivitas risiko fiskal BUMN terhadap perubahan variabel ekonomi makro. Pemerintah menyebut, perubahan kondisi ekonomi makro dapat menimbulkan risiko shock terhadap kinerja BUMN dan menimbulkan eksposur terhadap APBN.
Risiko tersebut, baik terhadap pendapatan negara yang bersumber dari BUMN seperti penerimaan pajak dan dividen, maupun terhadap belanja negara seperti subsidi, serta pembiayaan anggaran seperti penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN.
Hasil analisis macro stress test pemerintah menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak memiliki pengaruh paling signifikan terhadap penerimaan negara yang bersumber dari BUMN.
Analisis tersebut mengungkapkan, kenaikan harga minyak mentah di satu sisi berdampak positif pada APBN seiring dengan kenaikan kontribusi penerimaan negara yang bersumber dari PT Pertamina (Persero). Perhitungannya, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 20, menambah penerimaan negara hingga 17,7%.
Namun, kenaikan harga minyak tersebut juga berdampak pada kenaikan biaya operasi beberapa BUMN seperti PT PLN (Persero), PT KAI (Persero), dan PT Garuda Indonesia (Persero) yang berpotensi menyebabkan penurunan laba bersih operasi dan besaran kontribusi pajak yang disetorkan ke pemerintah.
Pada APBN tahun 2020, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.866 triliun. Pendapatan pajak dalam negeri ditargetkan sebesar Rp 1.823 triliun.
Dari sisi belanja negara, risiko juga bersumber dari kompensasi Pemerintah kepada badan usaha yang menyelenggarakan kewajiban pelayanan publik (PSO) BBM dan listrik yang diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2018. Salah satu faktor utama risiko kompensasi tersebut tentu bersumber dari pergerakan harga minyak mentah.
Baca Juga: Ini Strategi Pemerintah Mendorong Laju Ekonomi Tahun Depan
Pemerintah bahkan telah memperhitungkan faktor eskalasi geopolitik di Timur Tengah dalam analisis risiko fiskal tahun 2020.
“Eskalasi geopolitik di Timur Tengah berpotensi menurunkan jumlah pasokan (supply) sehingga harga minyak dunia berpotensi mengalami kenaikan. Diperkirakan volatilitas harga minyak dan gas masih tinggi,” tulis laporan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News