Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan negara dibayangi risiko yang makin besar seiring dengan jatuhnya harga minyak mentah dunia.
Senin (9/3), harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) jatuh dari kisaran US$ 60 per barel di awal tahun ke level US$ 30 per barel. Padahal pemerintah dalam APBN 2020 telah menetapkan asumsi harga minyak mentah (ICP) pada level US$ 63 per barel.
Baca Juga: Harga minyak anjlok, harga BBM akan ikut turun? Menteri ESDM: Kita evaluasi dulu
Ekonom Bank UOB Enrico Tanuwidjaja menilai, penerimaan negara dari sektor migas hampir dapat dipastikan semakin jauh dari target. Sebab, ia memproyeksikan, harga minyak mentah tidak akan pulih mencapai level yang diasumsikan pemerintah di atas US$ 60 per barel.
“Untuk bisa mencapai titik US$ 63 itu agak challenging. Peluang shortfall penerimaan migas bisa besar dan ini sekali lagi menjadi wake-up call bagi pemerintah untuk tidak bisa lagi mengandalkan penerimaan dari sektor migas,” tutur Enrico kepada Kontan.co.id, Senin (9/3).
Enrico memprediksi, harga minyak mentah dunia akan kembali mengalami normalisasi pada semester kedua mendatang, yaitu ke kisaran US$ 50-US$ 55 per barel. Hal ini seiring dengan tingkat permintaan global yang perlahan pulih jika tekanan pada perekonomian mulai mereda.
Dengan semakin beratnya prospek penerimaan negara, disertai dengan wacana pemerintah menggelontorkan berbagai insentif fiskal sebagai stimulus perekonomian, maka potensi pelebaran defisit pun semakin besar.
Enrico mengatakan, sejak awal ia memprediksi pelebaran defisit pada tahun ini akan berada di atas target yaitu sebesar 2,15% dari produk domestik bruto (PDB).
“Kalau ada tambahan stimulus-stimulus fiskal dan risiko perekonomian sekarang dengan wabah corona (Covid-19) maka defisit bisa mendekati 3% atau paling minimal 2,5% dari PDB,” imbuh Enrico.
Baca Juga: Ditekan corona, Sri Mulyani akui APBN terancam defisit 2,5%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News