Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Harga gas elpiji non subsidi 12 kilogram (kg) akhirnya mengalami kenaikan sebesar Rp 1.000 per kg atau Rp 12.000 per tabung. Nilai tersebut turun dari rencana kenaikan sebelumnya yang sempat dipatok senilai Rp 3.500 per kg atau Rp 42.000 per tabung.
Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani mengungkapkan, pemerintah harus menyiapkan skema jika terjadi subsidi akibat kenaikan harga elpiji 12 kg yang berada di bawah patokan Pertamina. Sebab, jika kenaikan harga elpiji sebesar Rp 12.000 itu masih lebih rendah dibandingkan dengan harga produksi, maka PT Pertamina akan mengalami kerugian.
"Kalau akhirnya kenaikan hanya Rp 1.000 per kg dan harga jual lebih rendah dari produksi, maka mengakibatkan kerugian. Kalau rugi kan tidak mungkin dialami Pertamina. Pasti dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), karena berpengaruh terhadap penerimaan dan juga pengeluaran negara," ujar Aviliani di Jakarta, Senin (6/1). Padahal, subsidi baru akan mempengaruhi struktur defisit neraca transaksi berjalan.
Aviliani menambahkan, jika defisit neraca transaksi berjalan yang diproyeksikan tahun ini bisa menanjak melewati batas 3%, akan menjadi masalah baru karena melanggar Undang-Undang APBN 2014 yang telah ditetapkan sebelumnya.
"Harus ditegaskan memang bahwa elpiji yang disubsidi adalah yang 3 kg. Sementara 12 kg, tidak. Untuk penggunaan komersil masa disubsidi? Itu tidak masuk akal. Kalau disubsidi akan menjadi beban baru di APBN Perubahan," ujarnya.
Kenaikan harga gas elpiji non subsidi 12 kilogram sempat menjadi polemik. Semula, kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) ini dipatok sebesar Rp 3.500 per kg atau Rp 42.000 per tabung. Nilai ini lebih tinggi 68% dari harga jual elpiji saat ini.
Namun, akhirnya kenaikan harga jual LPG hanya sebesar Rp 1.000 per kg atau Rp 12.000 per tabung. Kenaikan harga LPG ini pada dasarnya merupakan wewenang penuh PT Pertamina. Sehingga pemerintah tidak bisa melakukan intervensi.
Seperti diketahui, sebelumnya Vice President Corporate Communication PT Pertamina Ali Mundakir mengungkapkan, alasan kenaikan harga elpiji non subsidi diputuskan menyusul tingginya harga pokok elpiji di pasar.
Perusahaan berdalih turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menyebabkan kerugian keuangan yang semakin besar. Harga pokok perolehan Elpiji selama ini rata-rata naik menjadi US$ 873.
Dengan konsumsi Elpiji non subsidi kemasan 12 kg tahun 2013 mencapai 977.000 ton serta pelemahan nilai tukar rupiah, Pertamina memperkirakan kerugian yang ditanggung perusahaan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun. "Kerugian itu timbul sebagai akibat dari harga jual Elpiji non subsidi 12kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan," kata dia.
Ali menjelaskan, harga yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp 5.850 per kg. Padahal harga kini telah naik mencapai Rp 10.785 per kg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News