Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemkumHAM) melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan surat keputusan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana kasus korupsi per Selasa (6/9).
Adanya keputusan tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa pembebasan bersyarat (PB) 23 narapidana kasus korupsi dilakukan secara terstruktur.
Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menjelaskan, pertanggungjawaban bukan hanya dikejar dari Kementerian Hukum dan HAM, namun ada juga peran Mahkamah Konstitusi (MK) hingga Mahkamah Agung (MA), yang kemudian berkontribusi pada terjadinya peristiwa tersebut.
"Sifatnya sudah terstruktur artinya memang dikondisikan sampai akhirnya ada revisi undang-undang PAS (Permasyarakatan), dan akhirnya hari ini banyak kita tuai, di mana 23 napi korupsi tadi bisa mendapatkan pembebasan bersyarat," jelasnya dalam Diskusi Daring, Rabu (7/9).
Baca Juga: Jelang Pilpres 2024 Banyak Koruptor Bebas, Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa
Jika menilik ke belakang, Lola mengatakan ada ketentuan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang memperketat kepada narapidana (napi) korupsi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat yang dibatalkan oleh putusan MK yang kemudian diikuti oleh MA di tahun 2021.
"Salah satu poin yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung yang kemudian juga menjadi dasar semakin tidak bertajinya upaya pemasyarakatan terhadap koruptor itu adalah, sejumlah syarat yang awalnya dimasukkan untuk memperketat, untuk membatasi, para napi korupsi ini untuk memperoleh haknya sebagai warga binaan entah remisi, entah asimilasi, termasuk pembebasan persyarat," jelas Lola.
Awalnya terdapat kriteria yang memperketat napi korupsi memperoleh bebas bersyarat atau mendapatkan haknya sebagai warga binaan. Pertama kriteria sebagai justice collaborator. Bicara soal kriteria ini, tentu napi korupsi yang ingin menjadi justice collaborator haruslah dia yang bukan merupakan aktor utama dari kasus korupsi tersebut.
"Justice collaborator tentu harus membantu penegak hukum mengungkap kasusnya, asumsinya adalah orang ini bukan pelaku utamanya," kata Lola.
Selanjutnya, kriteria yang memperketat ialah melunasi pembayaran denda dan tambahan uang pengganti. Namun disayangkan kriteria yang memperketat ini justru dihilangkan dalam revisi Undang-undang 22 tahun 2022. Maka dasar tersebutlah yang dinilai Lola menjadi acuan Ditjen PAS mengeluarkan surat keputusan PB pada 23 napi korupsi.
Baca Juga: Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah Bebas Bersyarat
"Sehingga ketika dasar hukum sudah mati, artinya pertahanan terakhir untuk menjaga agar kualifikasi itu tetap diberikan kepada napi kasus korupsi itu sudah tidak ada," ujarnya.
Lola menduga bahwa kebijakan tersebut memang sudah dimaksudkan untuk menguntungkan koruptor. Dimana rangkaian peristiwanya itu menguatkan dugaan ke arah sana.
"Ada peran MK, ada peran MA yang kemudian berkontribusi pada terjadinya peristiwa seperti saat ini," imbuhnya.
Sebagai informasi, terdapat beberapa pasal dalam PP No 99 Tahun 2012 yang memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa, yakni narkoba, korupsi, dan terorisme.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menuturkan, pemberian PB dan remisi yang banyak ini menjadi bentuk landscape utuh Indonesia yang semakin mentoleransi korupsi.
Hal tersebut menjadi paket komplit dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilihat dari perubahan UU KPK, pemilihan komisioner yang dinilai melanggar etik, hingga pemecatan 52 pegawai, pengadilan yang berikan putusan yang ringan kepada Pinangki, dan juga ketidakseriusan dalam menangkap kasus korupsi penting seperti Harun Masiku.
"Pinangki dapat putusan ringan dari 10 jadi 4 tahun, sudah 4 tahun putusannya terus dapat remisi dapat pula pembebasan bersyarat. Ini menunjukkan negara semakin tunduk semakin kalah terhadap keganasan koruptor," tegasnya.
Lebih lanjut Ia menyebut, hal itu diperkuat dengan uji materi akan undang-undang dilakukan oleh terpidana koruptor dan dikabulkan. Hal tersebut ditakutkan menjadi arus balik sebagai negara yang justru mentolerir dan menganggap bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang berbahaya.
Baca Juga: Fokus ke Bisnis Chip, Samsung Gabungkan Divisi Ponsel dan Elektronik Konsumen
"UU Korupsi, Tap MPR yang begitu banyak soal korupsi dilupakan jelas ini penghianatan terhadap reformasi," ungkapnya.
Isnur menambahkan, kriteria berkelakuan baik yang dilakukan koruptor untuk mendapatkan remisi atau PB juga dipertanyakan. Berkelakuan baik bagi napi koruptor tak bisa disamakan dengan napi tindak pidana lainnya.
"Kalau menurut aturan di lapas bangun subuh tidak buat keributan itu jadi indikator baik bagi narapidana koruptor nggak cukup. harus berbeda indikator berkelakuan baik bagi narapidana korupsi," tegasnya.
Isnur juga menyebut perlu transparansi dari pemberian remisi hingga PB pada napi korupsi.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola menambahkan, banyak fenomena menggelitik soal pemberantasan korupsi sebelum adanya pemberian PB kepada 23 napi korupsi.
Baca Juga: PM Australia: Hukuman Penjara Pelaku Bom Bali Dikurangi
Remisi bagi narapidana korupsi perlu diperketat karena korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius, namun putusan aparat penegak hukum MA dan MK justru menunjukkan sebaliknya. Ia menyebut MA inkonsisten dalam pengetatan pemberian remisi hingga PB pada napi korupsi.
"Saya rasa kenapa perlu diperketat karena diskresi pemerintah dalam pemberian remisi luar biasa besar, sayangnya MA dan MK setuju melonggarkan ini," kata Alvin.
Adapun argumentasi MA bahwa keputusan tersebut menunjukkan rasa ketidakadilan. Dimana Alvin mengatakan, MA menyebut bahwa keputusan tersebut berkaitan dengan restorasi justice hingga persoalan mendudukkan hak narapidana sebagai hak yang equal.
"Itu diskriminasi disana, isu praktik korupsi ini buka hal yang sebelah mata. Dalam konteks hukum HAM, saya rasa mereka yang jadi napi korupsi tidak pantas mendapatkan hak yang equal dalam pemberian remisi," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News