Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menuturkan, pemberian PB dan remisi yang banyak ini menjadi bentuk landscape utuh Indonesia yang semakin mentoleransi korupsi.
Hal tersebut menjadi paket komplit dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilihat dari perubahan UU KPK, pemilihan komisioner yang dinilai melanggar etik, hingga pemecatan 52 pegawai, pengadilan yang berikan putusan yang ringan kepada Pinangki, dan juga ketidakseriusan dalam menangkap kasus korupsi penting seperti Harun Masiku.
"Pinangki dapat putusan ringan dari 10 jadi 4 tahun, sudah 4 tahun putusannya terus dapat remisi dapat pula pembebasan bersyarat. Ini menunjukkan negara semakin tunduk semakin kalah terhadap keganasan koruptor," tegasnya.
Lebih lanjut Ia menyebut, hal itu diperkuat dengan uji materi akan undang-undang dilakukan oleh terpidana koruptor dan dikabulkan. Hal tersebut ditakutkan menjadi arus balik sebagai negara yang justru mentolerir dan menganggap bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang berbahaya.
Baca Juga: Fokus ke Bisnis Chip, Samsung Gabungkan Divisi Ponsel dan Elektronik Konsumen
"UU Korupsi, Tap MPR yang begitu banyak soal korupsi dilupakan jelas ini penghianatan terhadap reformasi," ungkapnya.
Isnur menambahkan, kriteria berkelakuan baik yang dilakukan koruptor untuk mendapatkan remisi atau PB juga dipertanyakan. Berkelakuan baik bagi napi koruptor tak bisa disamakan dengan napi tindak pidana lainnya.
"Kalau menurut aturan di lapas bangun subuh tidak buat keributan itu jadi indikator baik bagi narapidana koruptor nggak cukup. harus berbeda indikator berkelakuan baik bagi narapidana korupsi," tegasnya.
Isnur juga menyebut perlu transparansi dari pemberian remisi hingga PB pada napi korupsi.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola menambahkan, banyak fenomena menggelitik soal pemberantasan korupsi sebelum adanya pemberian PB kepada 23 napi korupsi.
Baca Juga: PM Australia: Hukuman Penjara Pelaku Bom Bali Dikurangi
Remisi bagi narapidana korupsi perlu diperketat karena korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius, namun putusan aparat penegak hukum MA dan MK justru menunjukkan sebaliknya. Ia menyebut MA inkonsisten dalam pengetatan pemberian remisi hingga PB pada napi korupsi.
"Saya rasa kenapa perlu diperketat karena diskresi pemerintah dalam pemberian remisi luar biasa besar, sayangnya MA dan MK setuju melonggarkan ini," kata Alvin.
Adapun argumentasi MA bahwa keputusan tersebut menunjukkan rasa ketidakadilan. Dimana Alvin mengatakan, MA menyebut bahwa keputusan tersebut berkaitan dengan restorasi justice hingga persoalan mendudukkan hak narapidana sebagai hak yang equal.
"Itu diskriminasi disana, isu praktik korupsi ini buka hal yang sebelah mata. Dalam konteks hukum HAM, saya rasa mereka yang jadi napi korupsi tidak pantas mendapatkan hak yang equal dalam pemberian remisi," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News