Reporter: Risky Widia Puspitasari | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Pangan menjadi salah satu masalah krusial yang menjadi perhatian utama Partai Golkar jika kelak mendapat kepercayaan memimpin kembali Indonesia. Dulu, waktu partai berlogo pohon beringin ini berkuasa, Indonesia merupakan negara agraris dengan areal persawahan yang luas.
Tapi sekarang, banyak sawah yang berubah wujud menjadi perumahan dan kawasan komersial. Saban tahun, tak kurang 100.000 hektare (ha) sawah beralih fungsi. Padahal, jumlah penduduk negeri ini selalu bertambah sekitar 1,3% per tahun.
Lahan yang bisa ditanami padi, cabai, bawang merah, dan bahan pangan lainnya terus menyusut. Golkar menghitung, saat ini tiap petani kita hanya memiliki rata-rata 450 meter persegi lahan pertanian. Sebaliknya, luas perkebunan kelapa sawit terus tambah dari tahun ke tahun.
Coba bandingkan dengan Thailand dengan jumlah penduduk hanya sekitar 70 juta jiwa. Petani di Negeri Gajah Putih punya lahan pertanian seluas 5.000 meter persegi.
Menurut Siswono Yudo Husodo, Anggota Komisi Pertanian (IV) DPR dari Fraksi Golkar, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hanya mementingkan ketahanan pangan. Bagi pemerintah, yang penting bahan pangan tersedia, tak peduli dari mana cara memenuhinya.
Alhasil, Indonesia mengimpor hampir di semua komoditas pangan, mulai beras, cabai, bawang, hingga daging sapi. "Seharusnya kita bikin kemandirian pangan, nanti ketahanan pangan juga akan mengikuti," tegas bekas menteri tenaga kerja dan transmigrasi ini.
Kemandirian pangan bisa lahir dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Caranya, dengan membuka areal pertanian baru dan memperluas kepemilikan lahan para petani yang kian menciut. "Membuka lahan pertanian baru di luar Jawa menjadi suatu keharusan, paling tidak 200.000 ha per tahun," kata Siswono.
Dalam tempo 10 tahun ke depan, dengan pembukaan lahan pertanian tersebut, Indonesia bisa menyandang predikat swasembada pangan, bukan cuma beras. Dan, mimpi menjadi negara pengekspor komoditas bahan pangan bisa terwujud. "Jangan semua bahan pangan impor, bahkan daging sapi saja impor dari Australia," ujar Siswono.
Segendang sepenarian, Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi Keuangan (XI) DPR dari Fraksi Golkar mengatakan, belakangan negara kita gampang sekali melakukan impor bahan pangan. Sedikit-dikit impor. Padahal sebenarnya, impor hanya boleh dilakukan jika situasi mendesak seperti saat terjadi bencana alam. "Sekarang semuanya jadi bergantung dengan impor, tidak saat bencana saja," kata dia.
Golkar menginginkan kemandirian pangan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Soalnya, jika Indonesia bisa mandiri soal pangan, otomatis bakal banyak tenaga kerja yang bisa terserap.
Makanya, swasembada pangan adalah keharusan. Untuk itu, Golkar menawarkan strategi menghidupkan kembali koperasi petani. "Tujuannya untuk membina petani dan membantu meningkatkan produksi pertaniannya," imbuh Harry.
Singkatnya, Golkar ingin mengembalikan kejayaan sektor pertanian seperti masa lalu. Tinggal tunggu saja keseriusan partai nomor urut kelima ini atas janjinya itu.
Jangan hanya bicara, harus ada realisasi Keinginan Partai Golkar menjadikan Indonesia memiliki kemandirian pangan jelas sesuatu yang positif. Sebagai negeri agraris, siapa yang mau negara kita terus menerus bergantung pada negara lain. Melalui penambahan areal persawahan di luar Pulau Jawa, Golkar berharap keinginannya itu bisa terwujud. Namun, Indria Samego, pengamat politik dari LIPI, mengingatkan, keinginan itu jangan hanya sekadar rencana. "Dulu waktu kampanye pemilu sebelumnya bilang mau bagi-bagi tanah, tapi buktinya tidak,” katanya. Indria sepakat dengan Golkar, negara kita tak bisa terus menerus bergantung pada bahan pangan impor. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Untuk itu, pemerintahan yang baru kelak harus membantu masyarakat meningkatkan kompetensi, agar bisa secara kreatif meningkatkan produktivitas pangan. "Memang kampanye, kan, gunanya untuk menarik simpati. Tapi, jangan hanya bicara, harus ada implementasi yang nyata," imbuh dia. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, bilang, penambahan areal persawahan di luar Jawa memang mungkin. Hanya saja, ada sejumlah kendala yang menghadang. Misalnya, soal akses dan kondisi lahan pertanian. "Sawah di luar Jawa, kan, mahal sekali biaya produksinya. Selain itu, tingkat kesuburan di sana juga lebih rendah. Sehingga, butuh perlakuan yang lebih," ujarnya. Dengan biaya produksi yang besar, kekhawatiran yang muncul adalah harga jual komoditas pangannya juga akan menjadi mahal. Lagi pula yang punya keahlian mengelola sawah tidak bisa dipungkiri kebanyakan adalah orang Jawa. Dengan demikian, perlu dipikirkan juga mengenai masalah sumber daya manusianya. "Soal swasembada pangan setuju sekali. Itu memang suatu keharusan yang mutlak agar tidak dipermainkan harga internasional," tegasnya. |
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News