kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Genjot konsumsi, ekonom sarankan kebijakan moneter dan fiskal harus sinergis


Kamis, 26 September 2019 / 18:36 WIB
Genjot konsumsi, ekonom sarankan kebijakan moneter dan fiskal harus sinergis
ILUSTRASI. Josua Pardede, Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII)


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Guna menstimulus pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan tahun depan, nampaknya pemerintah perlu menggenjot konsumsi rumah tangga. Setali tiga uang, dunia usaha bisa tumbuh.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan konsumsi memang menjadi salah satu vitamin bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Catatan Josua, kebijakan moneter dan fiskal perlu bersinergi guna menciptakan ekosistem yang baik.

Dari sisi kebijakan moneter, Josua bilang pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI) atau BI7-Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) yang lebih melandai tentu akan membuat konsumsi masyarakat meningkat. 

Baca Juga: BNI perkuat keamanan transaksi e-channel lewat cara ini

Josua memandang pola pikir masyarakat untuk konsumsi semakin menggiurkan ketimbang menyimpai uang di dalam bank. Namun, dia tidak memungkiri respon penurunan suku bunga acuan BI tidak langsung direspon cepat oleh suku bunga kredit di perbankan.

“Dalam sektor rill, efek penurunan BI7DRR terhadap suku bunga kredit bisanya 4-6 bulan pasca pemangkasan suku bunga acuan,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9). 

Josua bilang dalam klasifikasi bank buku I-IV mempunyai daya serap masing-masing, tergantung dari fundamental bank itu sendiri. “Jadi ini tergantung tergantung kepada loan to deposit ratio (LDR), non performing loan (NPL), likuiditas BI, suku bunga bank itu sendiri, dan lain sebagainya,” kata dia.

Baca Juga: Penerbitan obligasi multifinance diproyeksi terlecut penurunan suku bunga acuan

Sehingga, bagi perbankan yang lelet merespon pemangkasan suku bunga BI karena alasan keadaan perusahaan malah akan menjaga suku bunga deposito tetap tinggi. Atau malah langkah perbankan menentukan suku bunga di bawah pemangkasan BI7DRR.

Jika itu terjadi maka tujuan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menstimulus konsumsi pasar malah jadi bertolak belakang. Kondisi inilah yang dinilai Josua bahwa bank central perlu berhati-hati memutuskan kebijakan. 

Saat ini suku bunga acuan BI di level 5,25% yang mana di tahun ini BI sudah menurunkannya sebanyak tiga kali. Josua memandang BI7DRR saat ini direspon baik meskipun dampaknya belum terasa ke semua kredit, namun konsumsi kendaraan bermotor setidaknya masih bisa stabil.

Nah, kebijakan moneter pemangkasan BI7DRR, Josua mengatakan BI perlu mengevaluasi pasar terkait respon ke dunia perbankan seperti apa. “Juga BI  perlu melihat perkembangan nilai tukar rupiah, defisit neraca berjalan, langkah The Fed, dan lain-lain,” tuturnya. 

Permata Bank menilai sebaiknya pada saat Rapad Dewan Gubernur (RDG) BI Oktober mendatang, BI7DRR tidak perlu dipangkas. Barulah di bulan November dipangkas lagi 25 basis points (bps) menjadi 5%. 

Selanjutnya, di awal tahun depan harapan Josua, BI7DRR dipangkas 25-50 bps atau setara menjadi 4,75%-4,5%. Di meramal barulah tahun 2020 kebijakan moneter sejak tahun 2019 sampai awal 2020 dapat signifikan memengaruhi konsumsi. 

Baca Juga: Pencopotan tiga direksi Sriwijaya Air tanpa persetujuan Garuda Indonesia

Di sisi lain, Josua mencermati inflasi pada tahun depan menjadi tantangan bagi konsumsi. Proyeski Bank Permata, pada 2020 inflasi di level 3,6%, naik dari prediksi tahun 2019 sebesar 3,4%.

Alasannya, tahun depan inflasi bakal terganggu lantaran harga jual rokok yang naik karena tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2020 sebesar 23%. “Ini akan mendorong inflasi tahunan, makanya kebijakan moneter BI tahun depan perlu memperhatikan banyak hal,” ungkapnya.

Di sisi lain, Josua bilang pemerintah perlu mendorong bantuan sosial, dana desa, keluarga harapan, dan program lainnya yang lebih tepat sasaran. Setali tiga uang, inflasi sektor pangan setidaknya bisa lebih melandai. Apalagi pembangunan infrastruktur yang terintegrasi saat ini diharapkan mampu menjaga logistik barang-barang penyumbang inflasi.

Baca Juga: Bank Mandiri (BMRI) sebut belum melihat urgensi untuk terbitkan commercial paper

Selanjutnya dari sisi kebijakan fiskal, Josua mengatakan konsumsi perlu didukung oleh kebijakan yang sifatnya nyata. Misalnya peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sehingga masyarakat menengah mempunyai daya beli yang semakin tumbuh.

Namun demikian, jika kebijakan fiskal tersebut sulit terealisasi, Jousua berharap pemerintah dapat memastikan Upah Minimun Pekerja (UMP) tahun 2020 naik selaras dengan pertumbuhan ekonomi serta inflasi. Hitungan Josua paling tidak kenaikannya sekitar 8%.

“Jadi ada peningkatan datya beli masyarakat, tidak jadi turun. Efek dominonya indeks kepercayaan konsumen masih cukup bagus,” kata Josua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×