Reporter: Bidara Pink | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - Bank sentral di banyak negara-negara berkembang atau emerging market and developing economies (Emdes) banyak melonggarkan kebijakan moneternya dalam menghadapi tekanan perekonomian akibat Covid-19.
Bahkan, pelonggaran tersebut dilakukan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti tingkat bunga sangat rendah, hingga pelonggaran berbagai kebijakan moneter untuk memompa likuiditas guna mempertahankan roda perekonomian.
Selain pelonggaran kebijakan moneter, Bank Dunia juga khawatir dengan tindakan bank-bank sentral juga yang ikut turun tangan dalam memborong obligasi pemerintah maupun surat utang sektor swasta untuk menstabilkan yield di tengah tekanan likuiditas.
Bank Indonesia (BI) juga melakukan hal yang sama. BI telah menurunkan bunga acuan hingga ke level 4,50%. Selain itu, BI juga telah melakukan quantitative easing (QE) untuk menyuntik likuiditas.
BI juga punya kewenangan untuk bisa membeli surat utang negara (SUN) dan surat berharga syariah negara (SBSN) di pasar perdana.
World Bank mengapresiasi langkah-langkah bank sentral negara berkembang tersebut. Namun, World Bank mengingatkan adanya hal-hal yang bisa menghambat efektivitas pelonggaran moneter itu.
World Bank dalam laporan berjudul Global Economic Prospects edisi Juni 2020 menyebut efektivitas kebijakan bisa berkurang kalau masih ada lockdown atau pembatasan di negara-negara. Pelonggaran kebijakan moneter bisa kurang efektif kalau diterapkan di negara dengan banyak sektor informal dan inklusi keuangan yang rendah.
Selain itu World Bank memiliki pandangan bahwa program pembelian aset oleh bank sentral di sebagian besar negara berkembang bisa tak efektif kalau tidak diiringi dengan kebijakan yang kredibel serta komunikasi yang transparan.
SELANJUTNYA>>>
Langkah tersebut juga menimbulkan resiko meningkatnya ketidakpercayaan investor global terhadap kredibilitas bank-bank sentral. Mereka bisa berpikir kalau bank sentral hanyalah sebuah alat untuk membiayai defisit fiskal yang besar.
Dengan berkurangnya kepercayaan investor global, maka ada risiko larinya modal asing dari dalam negeri, resiko premi dan imbal hasil obligasi pemerintah, serta bertambahnya tekanan inflasi.
Oleh sebab itu, World Bank menyarankan agar bank-bank sentral terus terbuka dan mengkomunikasikan langkah kebijakan yang mereka ambil agar tidak ada kesalahpahaman dan memperkecil risiko.
Sejumlah bank sentral di dunia juga bisa kembali ke kebijakan-kebijakan konvensional mereka setelah pandemi selesai. Kebijakan itu yang seiring dengan pulihnya ekonomi negara dan kembali normalnya aktivitas masyarakat.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pembelian surat utang negara secara langsung di pasar perdana yang dilakukan bank sentral negara berkembang, bisa membuat independensi bank sentral menurun.
Selain itu, masalah lain bisa muncul ketika bank sentral yang mendanai pelebaran defisit anggaran. Sebab, jika dana hasil suntikan BI tidak efektif dan cenderung masuk ke belanja yang konsumtif maka transfer resiko juga akan diterima oleh BI.
"Jadi ada konsekuensi yang cukup berat ketika BI melakukan pembiayaan terhadap defisit fiskal," kata Bhima kepada KONTAN, Selasa (9/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News