Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pengamat Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengatakan, agar pemerintah Indonesia mengevaluasi secara mendalam langkah negosiasi ekonomi dengan Amerika Serikat (AS) mengenai tarif impor yang dilakukan Presiden AS nasDonald Trump.
Ia memperingatkan bahwa pendekatan yang terburu-buru dan reaktif dapat merugikan posisi strategis Indonesia di kancah global, terlebih di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China.
"Ketika China secara terbuka memperingatkan akan melakukan retaliasi terhadap negara-negara yang mematuhi tekanan Washington, Indonesia justru terlihat tergesa-gesa mengirimkan delegasi ekonomi ke AS dengan janji konsesi," ujar Syafruddin kepada Kontan.co.id, Senin (21/4).
Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus tampil sebagai aktor yang berdaulat, bukan sebagai mitra dagang yang panik dan defensif.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akan Dipengaruhi Hasil Negosiasi Tarif Trump
Syafruddin menekankan bahwa dengan status Indonesia sebagai pemegang kepemimpinan D8, anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), ASEAN, BRICS, dan peran sentral di forum negara-negara berkembang, Indonesia memiliki legitimasi yang kuat untuk memimpin narasi perdagangan global yang adil dan setara.
Menurutnya, pemerintah perlu menunjukkan bahwa Indonesia mampu berdialog dengan AS dari posisi yang setara, tidak sekadar sebagai negara yang menyodorkan konsesi, tetapi sebagai mitra strategis yang mengedepankan kedaulatan dan keadilan dalam perdagangan internasional.
Karimi juga mengingatkan bahwa dalam setiap perundingan dagang, terutama yang menyangkut tarif dan akses pasar, Indonesia perlu menegaskan batas antara kerja sama ekonomi dan intervensi terhadap kedaulatan domestik.
"Kita terbuka untuk berdialog dengan Amerika Serikat atau mitra dagang lainnya, selama pembicaraan itu dilandasi oleh prinsip saling menghormati dan resiprositas," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus menyampaikan bahwa kerja sama ekonomi hanya akan berjalan sehat jika tidak disertai tekanan terhadap kebijakan internal. Dengan memperkuat posisi ini, Indonesia dapat menjaga martabat nasional sekaligus membangun hubungan dagang yang saling menguntungkan berdasarkan kesetaraan, bukan subordinasi.
Baca Juga: Waspada Dampak Negosiasi Tarif AS Mengancam Surplus Neraca Perdagangan Indonesia
Lebih lanjut, Syafruddin menekankan bahwa pemerintah harus memanfaatkan sepenuhnya kemandirian politik luar negeri bebas aktif sebagai fondasi untuk membangun kekuatan tawar yang sejajar dengan Amerika Serikat.
Ia mengatakan, Indonesia tidak perlu bersikap inferior ketika menghadapi tekanan atau kritik dari Washington, termasuk dalam isu hambatan teknis dan non-tarif. Justru dalam kerangka politik luar negeri yang tidak berpihak dan menjunjung hubungan setara dengan semua negara, Indonesia memiliki legitimasi kuat untuk merundingkan kepentingan nasional dengan percaya diri.
"Kita bisa menunjukkan bahwa kita negara yang terbuka terhadap kerja sama, tetapi tidak siap tunduk pada intervensi yang mengganggu kedaulatan dan kepentingan domestik. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia mengambil posisi sebagai mitra dialog yang mandiri, tidak sebagai negara yang reaktif atau sekadar memenuhi permintaan," katanya.
Di sisi lain, pemerintah tidak boleh membiarkan diri terjebak dalam posisi lemah hanya karena merasa tidak memiliki cukup senjata dalam menghadapi tekanan dari Amerika Serikat.
Pasalnya, dalam setiap negosiasi, kekuatan tidak hanya bersumber dari keunggulan ekonomi, tetapi juga dari keberanian memegang prinsip dan keyakinan pada potensi nasional sendiri.
"Jika pemerintah masuk ke meja perundingan dengan mental inferior, maka sangat mungkin semua permintaan AS akan diterima tanpa filter, yang pada akhirnya bisa melemahkan posisi ekonomi nasional dan menciptakan preseden buruk bagi kedaulatan kita," imbuh Syafruddin.
Baca Juga: Soal Negosiasi Tarif Trump, Indef: Jangan Sampai Terjebak Mengikuti Mau AS
Selain itu, pemerintah harus menghindari sikap reaktif dan mulai membangun kekuatan negosiasi dari dalam, seperti memperkuat fondasi industri, memperbaiki hambatan teknis, dan menyiapkan strategi lintas kementerian yang solid.
"Pemerintah harus menampilkan posisi tegas dan rasional, bukan defensif. Jika kita menunjukkan kapasitas sebagai mitra sejajar, bukan sebagai negara pencari konsesi, maka AS pun akan menilai kita dengan lebih hormat," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News