Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
KEM-PPKF 2026 ini akan menjadi dasar dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai asumsi makro yang disampaikan pemerintah dalam KEM-PPKF 2026 masih terlalu optimistis.
Baca Juga: APBN 2026 Lebih Moderat, Pemerintah Main Aman di Tengah Risiko Global
Ia menyoroti target pertumbuhan ekonomi yang dipatok lebih dari 5,1%, dinilai kurang realistis di tengah tantangan ekonomi global dan domestik.
"Asumsi makro yang disampaikan untuk 2026, perlu lebih rasional terutama pertumbuhan ekonomi masih cukup menantang untuk tumbuh lebih dari 5,1% di 2026," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (20/5).
Menurutnya, dengan asumsi pertumbuhan yang lebih realistis, pemerintah dapat merancang postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih moderat.
Hal ini penting agar upaya peningkatan penerimaan pajak tidak terlalu membebani wajib pajak yang sudah ada, sehingga memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk lebih ekspansif.
Bhima juga menekankan pentingnya fokus belanja pemerintah diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, yang rentan terhadap tekanan ekonomi.
“Secara keseluruhan, asumsi makro dalam KEM-PPKF 2026 masih overshoot," kata Bhima.
Baca Juga: Sri Mulyani: Efisiensi Masih Jadi Pertimbangan Penyusunan Anggaran Belanja pada 2026
Sementara itu, Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo menilai asumsi makroekonomi dan arah kebijakan fiskal dalam KEM-PPKF 2026 mencerminkan optimisme pemerintah terhadap prospek perekonomian nasional pada tahun depan.
Menurut Banjaran, moderasi harga komoditas global serta ekspektasi penurunan permintaan dunia telah tercermin dalam asumsi harga minyak mentah yang dipatok di bawah 80 dolar AS per barel.
“Target lifting minyak mentah juga ditetapkan dalam rentang yang realistis dan dapat dicapai,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa defisit APBN tetap berada dalam batas yang masih dapat ditoleransi. Sementara itu, inflasi diperkirakan akan berada di kuantil atas dari rentang target, yang menurutnya dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi untuk mencapai tingkat di atas 5%.
Namun demikian, Banjaran menggarisbawahi bahwa nilai tukar rupiah masih menjadi tantangan tersendiri.
"Yang masih menjadi tantangan memang di Nilai tukar rupiah, dimana spread dari nilai tukarnya mengambil asumsi bahwa tekanan terhadap rupiah masih berlanjut," katanya.
Di sisi lain, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun dinilai masih menarik, meski ada ekspektasi penurunan suku bunga ke depan.
“Pasar juga masih bersikap wait and see, melihat perbaikan pendapatan negara ke depan,” pungkasnya.
Sebagai tambahan, berikut adalah rincian asumsi makro dasar dalam KEM-PPKF 2025:
1. Pertumbuhan ekonomi: 5,2% hingga 5,8%
2. Suku Bunga SBN 10 tahun: 6,6% hingga 7,2%
3. Nilai tukar: Rp 16.500 hingga Rp 16.900 per dolar AS
4. Inflasi: 1,5% hingga 3,5%
5. Harga minyak mentah Indonesia/ICP: US$ 60 hingga US$ 80 per barel
6. Lifting minyak mentah: 600 hingga 605 RBPH
7. Lifting gas bumi: 953 hingga 1.017 RBSMPH
8. Defisit APBN: 2,48% hingga 2,53% PDB
9. Pendapatan Negara: 11,71% hingga 12,22%
Selanjutnya: 25 Perusahaan Migas Siap Masuk ke Hulu Migas Indonesia
Menarik Dibaca: 4 Manfaat Makan Salad di Pagi Hari, Berat Badan jadi Cepat Turun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News