Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan tarif impor dari Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia dinilai tidak serta-merta menghambat penyerapan tenaga kerja dalam negeri.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai, sektor manufaktur nasional masih memiliki daya saing untuk terus menyerap tenaga kerja secara agresif, meskipun situasi perdagangan global sedang tidak menguntungkan.
"Selama iklim tarif global masih seperti sekarang, dan tarif Indonesia tergolong paling rendah dibanding negara lain, masih ada peluang besar untuk sektor manufaktur tetap tumbuh dan menyerap tenaga kerja," ujar Myrdal kepada KONTAN, Senin (21/7).
Pemerintah Amerika Serikat Donald Trump diketahui telah memberlakukan tarif impor baru sebesar 19% terhadap produk ekspor asal Indonesia, mulai Agustus 2025. Meskipun tarif tersebut menjadi tantangan baru, Myrdal menilai bahwa peluang kompetitif Indonesia masih terbuka lebar.
Baca Juga: Tarif Impor AS Turun, Kemenkeu Optimis Ekonomi RI Tumbuh 5% di Paruh Kedua 2025
Sebelumnya, berdasarkan prinsip World Trade Organization (WTO), tarif yang berlaku untuk ekspor Indonesia ke AS adalah tarif MFN (Most-Favored Nation) yakni rerata sebesar 8% pada tahun 2023. Secara rinci, tarif MFN sebesar 8,6% untuk produk pertanian dan 7,9% untuk produk non-pertanian.
"Tentu kita mengharapkan tidak ada tarif sama sekali, tapi dalam konteks ini, kita masih memiliki keunggulan yang bisa dioptimalkan," ujarnya.
Lebih lanjut, Myrdal menekankan bahwa Indonesia justru memperoleh manfaat dari sisi impor, terutama untuk produk-produk asal AS yang masuk ke Tanah Air dengan tarif 0%. Komoditas tersebut meliputi energi seperti migas dan juga pangan strategis seperti kedelai yang sangat dibutuhkan industri dalam negeri dan masyarakat.
"Dengan tarif 0% untuk migas dan pangan dari AS, kita bisa memperoleh energi murah yang mendukung efisiensi produksi. Hal ini penting untuk mendukung produktivitas manufaktur dan menekan biaya logistik,” kata dia.
Baca Juga: Soal Tarif Impor AS 19%, Apindo: Masih Ada Ruang Jaga Daya Saing Ekspor
Ia juga mengaitkan ketersediaan energi dan pangan murah dengan program-program pemerintah seperti makan bergizi gratis dan dorongan terhadap kemandirian pangan serta energi nasional.
"Kalau program makan bergizi gratis benar-benar dijalankan, dan upaya kemandirian energi juga terus diperkuat, maka ini akan menciptakan stabilitas yang mendorong produktivitas industri. Ujungnya tentu berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja," jelasnya.
Menurut Myrdal, selama pemerintah bisa menjaga iklim investasi dan efisiensi produksi, sektor manufaktur akan tetap menjadi tulang punggung dalam membuka lapangan kerja, meski dinamika perdagangan global terus berubah.
"Penyerapan tenaga kerja seharusnya tidak menjadi masalah besar. Masih ada competitive advantage yang bisa dijaga dan dimaksimalkan," pungkasnya.
Baca Juga: Airlangga Sebut Tarif 19% dari Trump Bisa Berlaku Sebelum 1 Agustus 2025
Selanjutnya: Minat Investasi Asing di Indonesia Dinilai Terhalang Birokrasi dan Infrastruktur
Menarik Dibaca: Kenali Masalah Urologi Pria Lewat Gejala dan Solusinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News