Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Ekonom Bank Pertama Josua Pardede menyatakan, gejolak pasar keuangan yang terjadi saat ini didominasi oleh kondisi ekonomi global.
Josua menyebut, kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) dan krisis keuangan Yunani menjadi penyebab terbesar gejolak pasar keuangan dalam negeri. Lebih lanjut menurutnya, China pun turut menyumbang terperosoknya nilai tukar rupiah saat ini.
"Modal negara negara berkembang masuk ke China ini berpengaruh ke tingkat risiko utang kita yang meningkat. Sekalipun kalau dilihat data terakhir pertumbuhan ekonomi China menurun, secara keseluruhan likuiditas China masih cukup bagus. Jadi makanya semuanya memicu pasar keuangan emerging market termasuk Indonesia," kata Josua, Selasa (9/6).
Sementara itu lanjut Josua, sisi domestik, kenaikan inflasi pada bulan Mei akan mempengaruhi outlook bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) bulan Juni. Dia memperkirakan, pemangkasan BI rate dari posisi 7,5% sulit dilakukan.
Konsekuensinya, pertumbuhan kredit masih akan melambat sehingga pertumbuhan ekonomi secara makro belum bisa terbantu.
Menurut Josua, kebijakan moneter yang dilakukan BI telah maksimal untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Peran pemerintah seharusnya dapat lebih membantu hal ini. Kendati demikian, kenyataannya salah satu insentif yang diberikan pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi, yaitu tax allowance belum berdampak signifikan dalam jangka pendek.
"Apalagi pentumbuhan ekonomi saat ini melambat. Insentif-insentif fiskal, baru bisa dirasakan minimal dalam jangka waktu enam bulan," tambahnya.
Ke depan, rupiah diperkirakan Josua akan tertekan lebih dalam mengingat Bank Sentral menaikkan suku bunga acuannya. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tahun mendatang akan menentukan nilai tukar rupiah. Pemerintah kata Josua harus bisa mempercepat pembangunan infrastruktur agar stabilitas rupiah bisa terjaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News