Reporter: Nindita Nisditia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan menguat dalam kisaran Rp 14.500 hingga Rp 15.000 di tahun 2024.
Level tersebut berada di bawah asumsi pemerintah dalam Nota Keuangan Pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 yang menargetkan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000 pada tahun mendatang.
Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution menyebut, potensi menguatnya rupiah di tahun depan sehubungan dengan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) maupun perkiraan inflasi inti AS yang ditargetkan The Fed turun ke level 2%, sejalan dengan melambatnya pertumbuhan upah dan makin menurunnya harga sewa tempat tinggal yang menyumbang sekitar 33% terhadap IHK di AS.
Baca Juga: Ini Sederet Risiko yang Membayangi Pergerakan Rupiah Tahun Depan
Dengan demikian, Damhuri memperkirakan The Fed akan berhenti menaikkan suku bunga acuan, hingga berpotensi memangkas Federal Funds Rate (FFR) pada semester II.
Karenanya, Damhuri memperkirakan pemotongan suku bunga di AS, laju inflasi yang relatif rendah di dalam negeri, defisit transaksi berjalan yang terjaga di level rendah, serta prospek pertumbuhan ekonomi yang tetap baik, akan mendorong peningkatan inflow ke dalam negeri.
Peningkatan yang dimaksud baik berupa investasi portofolio maupun Foreign Direct Investment (FDI), sehingga menjadi katalis penguatan rupiah di tahun 2024 nanti.
"Terkait asumsi kurs rupiah dalam APBN 2024 sebesar Rp 15.000 per dolar Amerika, saya kira cukup konservatif, dalam arti kurs rupiah berpotensi bisa lebih kuat dari level tersebut," tutur Damhuri kepada Kontan.co.id, Jumat (18/8).
Baca Juga: Kemenkeu akan Dorong Belanja Berkualitas, Demi Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 2024
Lebih lanjut, dia menyebut kecenderungan rupiah yang tertekan di kisaran Rp 15.250 diakibatkan ketidakpastian global yang masih tinggi, terutama arah suku bunga the Fed yang berpotensi masih akan naik dan bertahan di level yang tinggi dalam waktu yang cukup lama.
Hal ini terjadi karena laju inflasi di AS yang belum turun ke level yang ditargetkan the Fed. Bahkan dalam beberapa bulan ke depan, Damhuri mengatakan inflasi di AS berpotensi naik sejalan dengan kenaikan harga energi, serta kemungkinan kenaikan harga pangan di pasar global akibat El-Nino.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News