kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonom: BI masih akan perketat kebijakan moneter


Minggu, 06 April 2014 / 11:38 WIB
Ekonom: BI masih akan perketat kebijakan moneter
ILUSTRASI. Rekomendasi saham emiten LQ45


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA.  Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan Bank Indonesia (BI) akan kembali diadakan Selasa besok (8/4). Berbagai perkembangan terkini perekonomian dalam negeri beserta perekonomian global menjadi pembahasan untuk menentukan arah kebijakan moneter Indonesia.

Sejumlah ekonom yang berhasil dihubungi KONTAN akhir pekan lalu sepakat menyimpulkan pandangan bahwa kebijakan moneter masih mengalami pengetatan. Artinya, suku bunga tetap bertengger pada level 7,5%.

Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, ada dua kondisi yang dihadapi BI.

Pertama, situasi perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi cukup normal. Kalau BI menaikkan suku bunga, ketakutannya respon dari investor di luar perkiraan.

Kedua, dengan membaiknya data ekonomi kalau BI menurunkan suku bunga, apakah benar ekonomi Indonesia sudah aman. Menurut Lana, ada risiko konsumsi masyarakat yang berlebihan.

Hal ini terlihat dari data konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dari Pertamina yang mengatakan per Februari 2014 konsumsi BBM mencapai 7,3 juta kiloliter atau 15% dari kuota sebesar 48,6 juta kiloliter.

Adanya hari raya Lebaran membuat kuota BBM berpotensi terus membengkak. "Jadi belum ada alasan BI merubah kebijakan suku bunga," ujar Lana.

Tidak hanya soal konsumsi yang masih tinggi. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat current account deficit atawa defisit transaksi berjalan masih harus diberikan perhatian.

Neraca dagang Februari yang mengalami surplus US$ 785,3 juta, menurutnya, salah satu dampak harga crude palm oil (CPO) yang meningkat.

Harga CPO ini turun kembali pada bulan Maret. Di sisi lain, pada triwulan II terdapat repatriasi dividen yang besar. Repatriasi dividen yang besar inilah yang kemudian membuat defisit transaksi berjalan pada triwulan II tahun lalu mencapai 4,4% dari PDB.

Apalagi dengan menguat tajamnya nilai tukar rupiah membuat perusahaan akan berlomba-lomba untuk impor. "Masih relatif berbahaya," tandasnya.

Perekonomian global juga menjadi perhatian. Kepala Ekonom BII Juniman menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global masih melambat. Hal ini terindikasi dari melambatnya China dan perbaikan ekonomi Amerika yang belum ada peningkatan berarti.

Kebijakan Bank Sentral AS The Fed yang akan menaikkan acuan suku bunganya pun tak luput dikhawatirkan. Juniman melihat, ada ruang suku bunga untuk diturunkan pada bulan Juli nanti karena perkiraannya inflasi tahunan bisa menembus 5%.

Namun, mengingat The Fed yang akan melakukan tightening, lebih bijaksana BI tetap menahan suku bunganya pada 7,5%. Patokan kebijakan BI saat ini ada pada negeri paman sam Amerika.

Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aviliani mengaku persoalan ke depan adalah likuiditas dunia. Apabila suku bunga acuan The Fed jadi dinaikkan tahun depan maka Indonesia harus mencari investor.

Kala tidak dipersiapkan dengan baik, kita bisa mempunyai problem krisis seperti tahun 2008. Dana asing berpotensi keluar dari Indonesia dan lari ke Amerika. Hal ini yang sangat perlu diberikan perhatian.

Salah satu cara menjaga dana asing tidak keluar adalah tetap menjaga suku bunga. "Setidaknya sampai pertengahan tahun ini tidak ada kenaikan (suku bunga)," tutur Aviliani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×