Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2025 diproyeksikan kembali mencatatkan surplus yang signifikan, seiring pulihnya aktivitas ekspor dan meredanya ketidakpastian global.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan surplus dagang bulan Mei mencapai US$ 2,29 miliar, jauh lebih tinggi dibanding realisasi US$ 158,8 juta pada April 2025.
Menurut Josua, proyeksi ini didukung oleh dua faktor utama. Pertama, normalisasi perdagangan pasca libur Lebaran yang mendorong pemulihan operasional sektor riil dan industri.
Baca Juga: Dorong Ekonomi, Indonesia Butuh Reformasi Pajak dan Efisiensi Belanja
Kedua, membaiknya kondisi perdagangan global setelah tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang meredakan ketegangan perang dagang.
“Pasca Lebaran, ekspor biasanya meningkat karena kegiatan produksi dan pengiriman kembali aktif. Ekspor Indonesia diperkirakan naik 11,76% (month to month/mtm) pada Mei, setelah turun 10,77% di April,” ujar Josua kepada Kontan.
Secara tahunan (year on year/yoy), ekspor masih tumbuh meski melambat, yakni 3,84% (yoy) dari sebelumnya 5,76% pada April.
Permintaan dari Tiongkok terhadap produk Indonesia juga menguat, naik 1,80% (mtm) dan 10,22% (yoy) pada Mei, berbalik dari kontraksi di bulan sebelumnya.
Sementara itu, impor Indonesia diperkirakan mengalami normalisasi. Pertumbuhannya hanya 1,49% (mtm), jauh lebih rendah dibanding lonjakan 8,80% pada April yang sempat terjadi akibat front-loading sebelum ketetapan tarif. Secara tahunan, impor juga melambat menjadi 7,69% (yoy) dari 21,84% sebelumnya.
Baca Juga: Ekonom AS: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 8% Jika Pemerintah Lakukan Ini
Normalisasi impor ini sejalan dengan turunnya ketidakpastian pasar, terutama setelah kesepakatan AS-Tiongkok. Hal ini tercermin dari ekspor Tiongkok ke Indonesia yang anjlok, dari tumbuh 26,04% di April menjadi kontraksi 9,28% di Mei.
Namun, Josua mengingatkan bahwa tekanan eksternal masih membayangi. Meskipun tensi perang dagang menurun, tarif impor AS terhadap barang-barang Tiongkok tetap tinggi di kisaran 30%, memberi tekanan pada perdagangan global dan harga komoditas unggulan Indonesia.
Di sisi lain, lemahnya permintaan domestik turut menekan laju impor, sehingga memperkuat posisi net ekspor. Tekanan harga minyak yang mereda akibat ketegangan Timur Tengah yang menurun juga memberikan dukungan terhadap neraca dagang.
Dari perspektif makro, surplus neraca dagang yang stabil turut menjaga defisit transaksi berjalan (CAD) dalam batas aman.
Baca Juga: Ekonom BSI: Penurunan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dipicu Perlambatan Q1
Josua memperkirakan CAD tahun 2025 sedikit melebar ke 0,87% dari PDB, dari 0,63% pada 2024. Namun hal ini masih memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan.
Kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dari sektor sumber daya alam juga dinilai positif, karena akan menambah cadangan devisa dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah, yang diperkirakan stabil di kisaran Rp16.100– Rp 16.400 per dolar AS hingga akhir tahun.
Cadangan devisa sendiri diproyeksikan berada di kisaran US$ 153 miliar sampai dengan US$ 157 miliar.
Selanjutnya: Penggemar Drama Oriental Meningkat, Telkomsel Gandeng Streaming Asal China
Menarik Dibaca: Tren Alat Pembersih Multifungsi Meningkat, Tineco Jaring Pasar Global Wet & Dry
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News