Reporter: Hervin Jumar | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan ekonomi kerakyatan di tingkat desa dan kelurahan melalui pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) menuai kritik. Pasalnya hingga saat ini baru sekitar 27.000 unit Kopdes Merah Putih telah selesai dibangun di berbagai wilayah Indonesia dengan target pembangunan 80.000 koperasi.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menganggap program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih berisiko tinggi dan belum memiliki fondasi konsep yang jelas. Padahal pemerintah mengklaim telah membentuk sekitar 80.000 koperasi.
Celios menyoroti belum adanya kejelasan model bisnis dan operasional Koperasi Merah Putih. Padahal, setiap koperasi berpotensi mengakses pembiayaan perbankan hingga Rp3 miliar. Jika dikalikan dengan jumlah koperasi yang diklaim pemerintah, total eksposur perbankan mencapai sekitar Rp240 triliun, dengan risiko gagal bayar yang dinilai signifikan.
Baca Juga: Celios Usul MBG Dihentikan Saat Libur, Anggaran Dialihkan Rehabilitasi Banjir Sumatra
“Ada potensi risiko gagal bayar yang cukup tinggi jika operasional sampai saat ini tidak ada kejelasan. Padahal modal awal yang dapat diajukan Koperasi MP kepada perbankan mencapai Rp3 miliar per koperasi. Jika kita jumlahkan dengan angka 80 ribu, ada Rp240 triliun keluar dari perbankan dengan risiko yang tinggi,” kata Nailul kepada Kontan, Senin (29/12/2025).
Menurutnya, tingkat kredit bermasalah UMKM sebesar 4,5%, Nailul memperkirakan potensi kerugian perbankan sedikitnya mencapai Rp7 triliun per tahun. Dengan tenor pinjaman hingga enam tahun, akumulasi risiko gagal bayar diperkirakan mencapai Rp28 triliun, yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain risiko kredit, penyaluran pembiayaan ke Koperasi Merah Putih juga menimbulkan opportunity cost besar bagi perbankan. Celios menghitung potensi kehilangan pendapatan perbankan mencapai Rp 76,51 triliun secara akumulatif selama enam tahun, yang dapat berdampak pada kinerja sektor perbankan dan kontribusi dividen, termasuk terhadap Danantara.
Nailul juga menyinggung potensi penggunaan dana desa sebagai penyangga risiko kredit Koperasi Merah Putih. Risiko gagal bayar selama enam tahun diperkirakan mencapai Rp 85,96 triliun, atau setara sekitar 20% total dana desa dalam periode tersebut. Praktik ini dinilai bertentangan dengan UU Desa karena dana desa seharusnya digunakan sesuai kebutuhan dan karakteristik masing-masing desa, bukan sebagai jaminan program yang belum memiliki payung hukum yang kuat.
Di sisi lain, keberadaan Koperasi Merah Putih dinilai berpotensi menimbulkan kanibalisasi usaha di desa. Pasalnya, banyak desa telah memiliki BUMDes yang eksis dan dibiayai dana desa, serta usaha swasta lokal yang sudah berjalan. Perlakuan khusus terhadap Koperasi Merah Putih dikhawatirkan justru mematikan usaha yang telah ada.
Baca Juga: Survei CELIOS: Satu Tahun MBG, 65% Masyarakat Sebut Tak Ringankan Beban Keluarga
Dari sisi makro, Nailul memperkirakan potensi kerugian ekonomi nasional dari operasional Koperasi Merah Putih mencapai Rp9,85 triliun selama enam tahun, disertai potensi hilangnya sekitar 824 ribu lapangan kerja. Terakhir, ia memperingatkan tanpa perbaikan konsep dan tata kelola, Koperasi Merah Putih berisiko mengulang kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu.
Selanjutnya: Badai PHK Diprediksi Berlanjut di 2026, Ekonom: Program Pemerintah Jauh Dari Memadai
Menarik Dibaca: Promo A&W Special Holiday Platter sampei 4 Januari 2026, Paket Komplit Ramean Hemat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













