Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi, eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah mengatakan, penghentian perkara dapat berpotensi bukan didasarkan atas pandangan objektif, melainkan dari penilaian subjektif yang sulit untuk ditagih akuntabilitasnya oleh publik.
Baca Juga: Kapal Wisata KM Putri Sakinah Tenggelam, YLKI Angkat Bicara
“SP3 yang dikeluarkan oleh KPK bukan hanya menambah daftar panjang perkara yang dihentikan, namun juga dapat dilihat sebagai hasil dari penghancuran KPK secara sistemik pada 2019 lalu,” kata Wana dalam keterangan tertulis, Senin (29/12/2025).
Diketahui, kasus dugaan korupsi ini melibatkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.
Wana mengatakan, KPK menyampaikan bahwa SP3 dikeluarkan pada Desember 2024.
Berdasarkan penelusuran ICW terhadap laporan tahunan KPK dan Dewan Pengawas KPK, nama Aswad Sulaiman tidak masuk di dalam laporan tersebut.
Karenanya, ICW mempertanyakan alasan KPK butuh waktu satu tahun untuk menyampaikan informasi tersebut ke publik.
Baca Juga: Kedubes Spanyol Apresiasi Polda NTT Selamatkan WNA KM Putri Sakinah
Padahal, kata dia, berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2019 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan ke Dewas paling lambat 14 hari terhitung sejak dikeluarkannya SP3.
“Mengapa informasi tersebut tidak segera disampaikan kepada publik? Publik patut mempertanyakan alasan mengapa KPK tidak berlaku transparan?” ujarnya.
Wana mengatakan, dalam kasus korupsi yang menyeret nama Aswad Sulaiman, terdapat dua pasal yang dikenakan KPK, yakni kerugian keuangan negara dan suap-menyuap.
Dia mengatakan, jika menerbitkan SP3, KPK harus menjelaskan untuk perkara terkait kerugian negara atau suap.
“Jika perkara suap-menyuap yang dihentikan, KPK wajib memberikan penjelasan tentang perkembangan pemeriksaan yang dilakukan pada tahun 2022 lalu,” ucap dia.
Baca Juga: Kabar Duka, Romo Mudji Sutrisno Meninggal Dunia
Apa sebab KPK setop penyelidikan kasus itu?
Sebelumnya, KPK mengatakan, kasus dugaan korupsi tambang nikel yang menyeret nama Bupati Aswad Sulaiman dihentikan sejak 2024 karena terkendala penghitungan kerugian negara.
"Benar. Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal 3 (UU Tipikor), yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," ujar Budi kepada wartawan, Minggu.
Budi menyinggung kasus perkara izin tambang yang sudah kedaluwarsa.
Baca Juga: BNPB Targetkan Sekolah di Aceh Utara Beroperasi Awal 2026
Dengan begitu, kata dia, SP3 perlu diberikan agar ada kepastian hukum terhadap pihak-pihak terkait.
“Kemudian dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya," ujarnya.
Budi menekankan bahwa pemberian SP3 juga sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019.
Dia menyebutkan, KPK mengedepankan kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Selanjutnya: Prakiraan Cuaca Banten 29 Des 2025-7 Jan 2026: Hujan Ringan & Berawan
Menarik Dibaca: 5 Kripto Top Gainers 24 Jam Terakhir, Canton Memimpin dengan Naik 14%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













