kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.942.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.511   87,00   0,53%
  • IDX 6.750   -157,43   -2,28%
  • KOMPAS100 974   -23,42   -2,35%
  • LQ45 750   -15,11   -1,98%
  • ISSI 219   -5,57   -2,47%
  • IDX30 388   -8,98   -2,26%
  • IDXHIDIV20 456   -10,30   -2,21%
  • IDX80 110   -2,41   -2,16%
  • IDXV30 113   -2,40   -2,09%
  • IDXQ30 126   -2,81   -2,19%

Efisiensi Pungutan PPN Indonesia Kalah dari Negara Tetangga, Ini Penyebabnya


Senin, 23 Juni 2025 / 10:49 WIB
Efisiensi Pungutan PPN Indonesia Kalah dari Negara Tetangga, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyoroti rendahnya efisiensi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID-JAKARTA.  ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyoroti rendahnya efisiensi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan. 

Dalam laporan terbarunya, AMRO menyatakan, salah satu penyebab utama rendahnya efisiensi pemungutan PPN di Indonesia adalah banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, serta ambang batas kewajiban registrasi PPN yang sangat tinggi bagi pelaku usaha.

"Efisiensi PPN Indonesia tetap rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, terutama karena banyaknya pengecualian atas barang dan jasa," tulis AMRO dalam laporannya, dikutip Senin (22/6).

Baca Juga: Setoran PPN DN Anjlok pada Mei 2025, Kemenkeu Pastikan Bukan Karena Ekonomi Melemah

Menurut AMRO, efisiensi sistem PPN Indonesia yang diukur dengan C-efficiency, rasio antara penerimaan PPN aktual terhadap potensi penerimaan PPN menurun dari rata-rata 53,4% pada periode 2014–2019 menjadi hanya 46,3% selama pandemi 2019–2020. 

Meski sempat meningkat sejak 2021 seiring pulihnya konsumsi, angka ini masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Thailand dan Vietnam.

Hal ini terutama disebabkan oleh cakupan pengecualian barang dan jasa yang sangat luas, meskipun tarif PPN di Indonesia sudah lebih tinggi dibandingkan negara-negara tersebut.

“Rendahnya C-efficiency juga menunjukkan bahwa sebagian besar potensi penerimaan PPN belum tergarap, kemungkinan besar akibat pengecualian pajak atau inefisiensi dalam sistem pemungutan pajak," katanya.

Lebih lanjut, AMRO juga menyoroti tingginya belanja perpajakan (tax expenditure) pemerintah, yang diperkirakan akan mencapai Rp 445,5 triliun atau setara 1,83% dari PDB pada tahun 2025, meningkat 11,4% dari Rp 399,9 triliun pada 2024. 

Dari total belanja perpajakan itu, insentif PPN menjadi komponen terbesar, yaitu Rp 265,6 triliun atau sekitar 1% dari PDB.

Di sisi lain, AMRO menilai bahwa salah satu kebijakan yang turut mempengaruhi rendahnya basis pajak adalah batas ambang omzet tahunan bagi pelaku usaha yang wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), yakni sebesar Rp 4,8 miliar atau sekitar US$ 315.100. 

Batas ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain seperti Laos, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang menerapkan ambang batas di bawah US$ 55.000.

Baca Juga: Penerimaan PPN dan PPnBM Anjlok 19,6% Hingga April 2025. Efek Pelemahan Daya Beli?

Kebijakan ini awalnya bertujuan mempermudah kepatuhan pajak bagi UMKM serta memberi ruang ekspansi bagi pelaku usaha kecil. 

Namun dalam praktiknya, banyak pelaku usaha diduga sengaja membatasi omzetnya agar tetap di bawah ambang batas tersebut dan menghindari kewajiban PPN.

Hal ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan usaha sekaligus mempersempit basis penerimaan pajak negara.

"Karena Indonesia memiliki salah satu ambang batas registrasi PPN tertinggi di kawasan, beberapa pelaku usaha mungkin dengan sengaja menjaga pendapatannya tetap di bawah Rp 4,8 miliar untuk menghindari kewajiban PPN. Hal ini menyebabkan pertumbuhan usaha menjadi lambat dan menimbulkan inefisiensi dalam pemungutan pajak," imbuh AMRO. 

Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan penerimaan pajak, AMRO merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan reformasi menyeluruh atas kebijakan pengecualian PPN dan meninjau kembali ambang batas registrasi PKP. 

"Ambang batas yang lebih rendah ini mampu memperluas basis pajak, mengurangi penghindaran pajak, serta meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara," katanya.

Selanjutnya: Pelni Masuk Danantara, Bagaimana Nasib PMN untuk 3 Kapal?

Menarik Dibaca: Manfaat Minum Kopi Americano untuk Diet Tubuh, Ulasan Lengkapnya di Sini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×