Reporter: Yudho Winarto |
JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) minta penjelasan Bank Indonesia (BI) terkait kenaikan suku bunga. Anggota Komisi XI DPR RI, Kemal Stamboel menduga sejatinya BI sudah berupaya mempertahankan suku bunga acuan di level 6,5%. "Tetapi ada ada faktor tekanan lain sehingga sulit dipertahankan," ujarnya, hari ini (6/2).
Menurutnya, Komisi XI, terutama Panja inflasi dan suku bunga minta penjelasan yang lebih dalam seperti argumentasi dan rasionalitasnya.
Rencananya DPR menjadwalkan pemanggilan tersebut pada Senin (14/2) mendatang. Wakil Ketua Panja Inflasi dan Suku Bunga Komisi XI DPR RI ini tetap melihat bahwa inflasi Desember dan Januari yang relatif tinggi, faktor penyebabnya terutama bukan dari sisi moneter.
Tetapi lebih disisi suplai atau sektor riil seperti kurangnya produksi, gagalnya manajemen stok Bulog, keterlambatan Raskin, hambatan distribusi, dan gangguan cuaca. Dengan demikian, menurutnya, BI seharusnya belum perlu mengambil kebijakan menaikkan suku bunga acuan.
Kebijakan perbaikan terpentingnya seharusnya pada peningkatan produksi pangan, memperbaiki manajemen stok dan distribusi barang-barang yang bergejolak harganya (volatile food).
“Kebijakan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebelumnya sudah cukup untuk mengetatkan uang beredar. Tetapi sepertinya BI ingin member sinyal lebih jelas pada pelaku pasar keuangan”, tambahnya.
Kemal tetap mengkhawatirkan kenaikan suku bunga akan berpotensi menyebabkan meningkatnya kenaikan suku bunga kredit dan akan meningkatkan biaya modal usaha. Hal ini secara tidak langsung akan mengakibatkan inflasi meningkat dalam jangka pendek dan menengah akibat pengusaha menaikkan harga produk, sehingga bebannya akan dipikul masyarakat luas.
"Kita khawatir, ekspansi dunia usaha akan tertahan dan lapangan kerja menjadi terbatas”, tandasnya.
Informasi saja, saat ini rata-rata suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rate perbankan berada di level 11,84% dan rata-rata bunga deposito sebulan adalah 6,4%. Padahal Di Malaysia tingkat spread bunganya sekitar 3%, sedangkan di Filipina sekitar 4%.
“Spread di Indonesia masih cukup tinggi. Keuntungan bank secara umum juga sangat-sangat tinggi. Kita berharap, perbankan juga memikirkan keberlangsungan dan daya saing usaha nasabah agar dapat bersaing dengan produk luar negeri yang memiliki akses modal murah. Kita juga akan mendorong komitmen itu, terutama bagi BUMN Perbankan”, tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News