Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Anggota Komisi IX DPR, Indra, mengkritik pernyataan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) 44.000 buruh di industri manufaktur.
Indra tidak setuju dengan pernyataan Anton yang menyebutkan, bahwa penyebab utama di PHK-nya buruh tersebut akibat tingginya kenaikan upah minimum buruh di tahun 2013.
"Pengusaha jangan selalu mengkambing hitamkan upah buruh sebagai penyebab turunnya daya saing dan meningkatnya biaya operasional industri," kata Indra saat dihubungi KONTAN, Selasa (30/7).
Menurut politisi muda PKS tersebut, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi berdampak lebih besar bagi dunia usaha ketimbang kenaikan upah minimum.
Ia menganggap, kenaikan harga BBM adalah kebijakan buruk yang berakibat biaya operasional perusahaan melambung karena diikuti kenaikan harga barang dan jasa.
"Dampaknya akan terlihat dua atau tiga bulan lagi. Bukan tak mungkin pada September dan Oktober nanti, juga akan banyak PHK massal," tegas Indra.
Anggota Tim Pengawas Century DPR tersebut menambahkan, kenaikan upah buruh bukanlah faktor utama penghambat dunia usaha. Ia merujuk laporan Bank Dunia Tahun 2005 lalu.
"Ternyata faktor utama penghambat adalah birokrasi yang tak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan," jelas Indra.
Oleh karena itu, Indra meminta pemerintah berbenah diri agar tidak membebani dunia usaha. "Jangan sampai pemerintah membenturkan buruh dengan pengusaha," pungkasnya.
Sebelumnya, Anton Supit mengatakan bahwa gelombang rasionalisasi atau PHK telah terjadi sejak Januari hingga Juni 2013. Dalam kurun waktu tersebut, 44.000 ribu buruh terkena PHK.
Menurut Anton, jumlah PHK besar-besaran tersebut terjadi di 29 perusahaan sepatu. Kondisi ini dipicu ambruknya industri alas kaki dan garmen akibat tingginya kenaikan upah minimum tahun 2013. "Kondisi saat ini memaksa kami merasionalisasi jumlah pekerja," kata Anton.
Industri alas kaki dan garmen merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja sedikitnya 4 juta orang. Selain itu, industri ini menghasilkan devisa ekspor US$ 20 miliar atau sekitar Rp 200 triliun per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News