Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menggelar pertemuan bilateral dengan HM Revenue and Customs (HMRC) Inggris untuk membahas masalah pajak global yang juga dihadapi oleh kedua negara, salah satunya adalah masalah pemajakan atas layanan Over The Top (OTT) seperti yang dilakukan Google, Facebook, Whatsapp dll.
Direktur Pajak Internasional DJP John Hutagaol mengatakan, HMRC Inggris membagi pengalamannya dalam menerapkan Diverted Profit Tax (DPT) atas atas penghindaran pajak melalui media OTT yang saat ini menjadi topik hangat di Indonesia dan negara-negara lainnya.
Hal ini dilatarbelakangi dengan globalisasi dan praktek agresif perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan berskala lintas negara (multinational enterprises) dan para orang pribadi kaya (high wealth individual taxpayers) telah mengerus basis pemajakan di masing-masing negara.
John menjelaskan, DPT ini adalah salah satu anti avoidance rule yang diterapkan untuk mencegah praktik penghindaran pajak dengan melakukan artificial Permanent Establishment yang dapat berakibat negara di mana kegiatan ekonomi berlangsung tidak mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan yang timbul.
Menurut dia, DPT ini tidak diterapkan pada sektor usaha atau Wajib Pajak (WP) tertentu. Adapun dalam penerapan DPT, HMRC Inggris mendapat dukungan luas dari lapisan stakeholders-nya.
“DJP sedang mempelajari ketentuan DPT tersebut dari The HMRC Inggris yang telah menerapkan DPT sejak tahun 2014,” kata John kepada KONTAN, Rabu (8/3).
Ia menjelaskan, di Inggris, tarif DPT adalah 25% atau lebih besar dari pada tarif pajak yang bersifat umum, dan dibayar terlebih dahulu walau WP mengajukan banding ke Pengadilan (Tribunal). “DPT akan dikenakan secara official assessment terhadap WP tersebut bila WP itu tidak patuh pada tahun berikutnya,” terangnya.
Untuk diimplementasikan di Indonesia, John mengatakan bahwa DPT ini harus memiliki cantolan primary legislation-nya, seperti Undang-Undang. “Nanti bila ternyata efektif, DPT Rule dapat diusulkan untuk dipertimbangkan dalam RUU PPh,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, bila DPT ini diimplementasikan maka akan membuat jenis pajak baru di luar income tax.
“Sebenarnya kalau memang BUT itu sudah direvisi sesuai dengan OECD, yang virtual significant presence itu, sebenarnya itu sudah cukup, tidak perlu DPT. Karena DPT ini dibuat dalam mengatasi apa yang dialihkan itu dikenakan pajak karena di BUT tidak ketarik,” jelasnya.
Oleh karena itu pada dasarnya DPT ini dulu dibuat untuk memberi daya penekan pada WP sehingga WP bisa memilih untuk mengaku BUT dan bayar pajak normal.
Asal tahu saja, di Inggris, diverted profit tax ini membuat perusahaan seperti Google dan Facebook mau tak mau membayar pajak. Skema itu memungkinkan Inggris memungut pajak atas laba atau royalti setelah dialihkan ke negara lain yang memiliki aturan perpajakan longgar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News