kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Ditjen Pajak kaji dua opsi terkait PTKP


Minggu, 23 Juli 2017 / 18:24 WIB
Ditjen Pajak kaji dua opsi terkait PTKP


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemkeu) menyatakan tengah mengkaji penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan upah minimum provinsi (UMP) di masing-masing daerah.

Sebelumnya, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016, pemerintah menetapkan kenaikan PTKP menjadi Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan, dari sebelumnya Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan. Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi.

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, pihaknya tengah mengkaji perubahan ini. Pasalnya, ada penurunan penerimaan pajak di daerah-daerah yang UMP-nya rendah. Saat ini, Ditjen Pajak memiliki dua opsi, yakni menyesuaikan dengan UMP atau PTKP dinaikkan, tetapi mereka yang membayar upah minimal sama dengan PTKP akan diberikan bonus.

“Bisa saja PTKP kami naikkan, mereka yang membayar upah minimal sama dengan PTKP, kami kasih bonus, kan bisa sama saja,” kata Ken di Jakarta, Minggu (23/7).

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mendorong agar evaluasi terhadap kebijakan PTKP mengarah pada kenaikan batas besarannya. Apabila PTKP dinaikan, penghasilan masyarakat akan semakin besar sehingga konsumsi masyarakat bisa meningkat.

Terkait hal ini, Ken menyatakan dirinya setuju. ”Saya setuju juga. Artinya kami kaji keduanya,” katanya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengakui telah kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 20,1 triliun pada 2016 setelah menaikkan batas PTKP.

Ken melanjutkan, untuk mengubah kebijakan terkait PTKP ini bisa disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Menurut Ken, pemerintah dalam target menaikkan tax ratio yang masih rendah saat ini perlu menarik pajak lebih banyak. “Karena kalau bracket-nya tinggi semakin kecil kita (mendapat penerimaan),” kata Ken.

Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji mengungkapkan, revisi PTKP bisa dipahami sebagai upaya mencapai keseimbangan dari prinsip ability to pay serta perluasan basis pajak. Di berbagai negara, batasan PTKP umumnya didesain selaras dengan indikator tingkat ekonomi masyarakat, misalnya pendapatan perkapita, tingkat konsumsi, dan sebagainya. Dengan demikian, menurutnya, pemerintah bisa menilai tinggi atau rendahnya PTKP jika dibandingkan dengan benchmark tersebut.

“Batasan PTKP di Indonesia dirasa terlalu tinggi. Dengan menggunakan pendapatan perkapita yang disesuikan atas daya beli sebagai acuan, nilai PTKP Indonesia di tahun 2015 saja mencapai 0,8 kali dari pendapatan perkapita,” katanya.

Angka itu jauh lebih tinggi dari negara kawasan atau negara-negara maju. Ia melanjutkan, adanya penyesuaian PTKP di 2016 membuat nilainya meningkat menjadi 1,13 kali lipat dari pendapatan perkapita. Artinya, terdapat potensi pajak yang tidak tergali karena batasan PTKP tersebut.

Walau demikian, menurut Bawono diperlukan kehati-hatian dalam perbandingan tersebut. Di setiap negara, tax base orang pribadi tidak hanya ditentukan oleh PTKP, namun juga komponen-komponen lain, seperti deduction, allowance, atau hingga penentuan lapisan kelompok penghasilan (tax bracket) di tiap jenjang tarif. Dengan demikian, analisis komprehensif sangat diperlukan karena sangat mungkin bahwa negara dengan tingkat PTKP rendah memiliki skema pengurang tax base lainnya yang tinggi

Ia menambahkan, penggunaan UMR sebagai acuan mencerminkan keinginan kuat Pemerintah untuk menjamin ability to pay karena UMR ditentukan berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di masing-masing daerah. Akan tetapi, variasi PTKP antardaerah berpotensi menciptakan kerumitan administrasi lapangan maupun distorsi bagi mobilitas tenaga kerja.

Menurutnya, memang betul bahwa penentuan PTKP akan berakibat pada distribusi beban pajak. Akan tetapi, signifikansi peran pajak terhadap distribusi pendapatan sejatinya terletak pada upaya memastikan kepatuhan pembayaran pajak yang adil dari orang kaya. “Jadi selama hal tersebut tidak diperbaiki, ketimpangan akan tetap tinggi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×