Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan 7 orang tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan, penyidik telah memeriksa 96 orang saksi dan 2 orang ahli.
Penyidik juga telah melakukan penyitaan terhadap 969 dokumen dan penyitaan terhadap 45 barang bukti elektronik.
Baca Juga: Kejagung Selidiki Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah, Ini Tanggapan Pertamina
"Dari hasil pemeriksaan terhadap beberapa orang tersebut, penyidik menetapkan 7 orang saksi menjadi tersangka," ujar Harli dalam konferensi pers, Senin (24/2) malam dipantau dari Youtube Kejaksaan.
Tujuh orang tersangka antara lain Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional.
Lalu, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional; MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Serta DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Baca Juga: Pertamina Angkat Bicara Perihal Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
Setelah dilakukan pemeriksaan Kesehatan dan telah dinyatakan sehat, lalu tim penyidik melakukan penahanan terhadap para tersangka selama 20 hari ke depan.
Adapun kasus posisi dalam perkara ini yaitu periode tahun 2018 - 2023 pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, tersangka SDS, dan tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang. Sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.
Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan fakta sebagai berikut. Yakni produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS.
Baca Juga: Pertamina Buka Suara Soal Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
Produk minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alas an spesifikasi tidak sesuai (kualitas) kilang. Akan tetapi faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor).
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.
Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi
Untuk kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya pemufakatan jahat (mens rea) antara Penyelenggara Negara (tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS, dan tersangka YF) bersama DMUT/Broker (tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
Baca Juga: Kejagung Telah Periksa 70 Saksi Terkait Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
Pemufakatan tersebut, diwujudkan dengan adanya tindakan (actus reus) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang. Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (Spot) yang tidak memenuhi persyaratan.
Tersangka RS, tersangka SDS dan tersangka AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum
Tersangka DM dan Tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan Tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari Tersangka RS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92. Padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13% sampai dengan 15% secara melawan hukum sehingga Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun.
Kerugian bersumber dari komponen kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun.
Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun. Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun.
Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun. Serta kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya: 3 Tahun Perang Ukraina, Ini Sanksi Terbaru Uni Eropa untuk Rusia
Menarik Dibaca: Simak Jadwal Terbaru KRL Solo-Jogja Pada Selasa, 25 Februari 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News