kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dilema Omnibus Law Perpajakan, bakal kikis penerimaan pajak


Jumat, 13 Desember 2019 / 20:33 WIB
Dilema Omnibus Law Perpajakan, bakal kikis penerimaan pajak
ILUSTRASI. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Wamenkeu Suahasil Nazara, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani usai Rapat Koordinasi Omnibus Law di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kamis (12/12)


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mega proyek Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi atawa Omnibus Law Perpajakan akan dibahas pada 2020. Rencananya beleid substansi relaksasi perpajakan terimplementasi pada 2021.

Pemerintah tidak menutup mata bahwa aturan sapu jagat tersebut akan berdampak terhadap penurunan penerimaan pajak di tahun 2021. Otoritas Perpajakan memprediksi potential loss dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 atau pajak korporasi mencapai Rp 53 triliun, bila tahun 2021 PPh Badan dipangkas dari 25% menjadi 22%.

Baca Juga: BKPM, Pintu Tunggal Izin Investasi

Tak hanya itu, negara juga bakal kehilangan penerimaan dari PPh Pasal 23 atau pajak deviden. Ketentuan dalam Omnibus Law Perpajakan mengatur Wajib Pajak (WP) Badan dalam negeri dengan kepemilikan lebih dari 25% akan dibebaskan dari PPh Deviden.

Namun demikian pemerintah mengatakan potensi kehilangan pajak dari sana tidak terlalu besar. Sebagai gambaran, realisasi PPh Pasal 23 sepanjang tahun 2018 sebesar Rp 39,7 triliun.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan pemerintah tengah menghitung total penerimaan pajak yang hilang akibat Omnibus Law Perpajakan. “Nanti bagaimana pembahasannya, kita tahu dulu berapa persis tarif yang ditentukan. Mitigasi adanya penurunan penerimaan pajak pasti disiapkan,” kata Suahasil kepada Kontan.co.id, Kamis (12/12).

Baca Juga: Aturan Sapu Jagat Pajak Segera Dituntaskan

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Rofyanto Kurniawan menerangkan sebagai mitigasi terkikisnya penerimaan pajak akibat Omnibus Law Perpajakan, secara garis besar Kemenkeu akan mengoptimalkan belanja dan pendapatan negara. Belanja dirancang akan lebih tepat sasaran agar lebih efektif menggunakan kas negara.

Dari sisi penerimaan, Rofyanto menilai pemungutan pajak di Indonesia belum optimal. Artinya masih banyak sumber potensial yang bisa digali lebih dalam sebagai upaya ekstensifikasi pajak.

Salah satu perluasan basis pajak yakni dalam dunia ekonomi digital. Kata Rofyanto dalam skema Omnibus Law Perpajakan pengetatan administrasi pajak perusahaan yang berbasis digital sudah diatur. Sehingga ini dapat menjadi salah satu mitigasi karena kehadiran insentif yang diberikan.

Baca Juga: Risiko Global Berlanjut, Ekonomi 2020 Makin Tertekan

Dari sisi administrasi, pelaporan pajak akan diperbaiki dengan menerapkan cortex sistem serta relaksasi regulasi dan simplifikasi tarif beserta denda pajak. “Kami harapkan dengan adanya perbaikan administrasi prosedural, compliance akan meningkat. Sehingga mampu mengimbangi pengurangan pajak ke depan,” kata Rofyanto kepada Kontan.co.id, Jumat (13/12).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menambahkan Omnibus Law Perpajakan pada dasarnya bertujuan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang saat ini belum cukup ideal. Sehingga diyakini dapat menarik investasi ke dalam negeri.

Di sisi lain, pemerintah juga menyiapkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, diharapkan juga akan mendorong peningkatan investasi. Skemanya, bila investasi meningkat akan menciptakan banyak basis pajak baru sebagai sumber penerimaan pajak, yaitu PPh Badan, PPh Pasal 21 dan pot/put lainnya, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Baca Juga: Gagal Penuhi Target, Draft Omnibus Law diserahkan ke DPR Awal 2020 premium

“Jadi, kami tetap melihat potensi penerimaan yang tidak kalah besar dibandingkan kehilangannya sebagai dampak dari Omnibus Law ini,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Jumat (13/12).

Sementara itu, moderasi sanksi administrasi berupa relaksasi denda dan pengkreditan pajak masuk dalam Omnibus Law Perpajakan. Yoga menyampaikan cara kni akan meningkatkan kepatuhan para WP, dalam konteks bagi WP yang selama ini kurang patuh akan terdorong untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) karena sanksinya tidak seperti sekarang.

“Dengan Omnibus Law Perpajakan, kita juga mendapatkan potensi penerimaan dari e-commerce, terutama untuk PPN atas produk-produk perusahaan over the top (OTT) dari luar negeri yang dibeli konsumen di Indonesia,” imbau Yoga.

Baca Juga: Perumus Omnibus Law: PKP2B yang habis kontrak mesti diserahkan ke BUMN

Di samping itu, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan sebelum implementasi rangkaian relaksasi pajak terjadi di 2021, pemerintah seyogyanya fokus pada strategi tahun depan. Sebab tahun 2020 adalah batu pijakan untuk menentukan kondisi penerimaan pajak saat Omnibus Law Perpajakan diterapkan.

Dengan adanya relaksasi PPh Badan di tahun 2021, Bawono menilai otoritas perpajakan bisa mengoptimalkan pos-pos pajak lain ataupun berdasarkan sektor yang masih potensial tapi belum termaksimalkan. Misalnya pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan desentralisasi pajak daerah ke pusat seperti pajak restoran, hotel, dan parkir kendaraan.

“Selain itu, pastinya meningkatkan kepatuhan wajib pajak, penambahan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, dan utilisasi data Automatic Exchange of Information (AEoI),” ujar Bawono.

Baca Juga: Apindo memproyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 masih menantang

Sehingga, Bawono berharap langkah tersebut dapat menggenjot target penerimaan pajak tahun depan yang dipatok sebanyak Rp 1.642 triliun. Namun demikian, proyeksi DDTC penerimaan pajak tahun 2020 hanya mencapai 87,14%-89,03% dari target atau setara dengan Rp 1.431 triliun-Rp 1.462 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×