Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menambahkan Omnibus Law Perpajakan pada dasarnya bertujuan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang saat ini belum cukup ideal. Sehingga diyakini dapat menarik investasi ke dalam negeri.
Di sisi lain, pemerintah juga menyiapkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, diharapkan juga akan mendorong peningkatan investasi. Skemanya, bila investasi meningkat akan menciptakan banyak basis pajak baru sebagai sumber penerimaan pajak, yaitu PPh Badan, PPh Pasal 21 dan pot/put lainnya, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Baca Juga: Gagal Penuhi Target, Draft Omnibus Law diserahkan ke DPR Awal 2020 premium
“Jadi, kami tetap melihat potensi penerimaan yang tidak kalah besar dibandingkan kehilangannya sebagai dampak dari Omnibus Law ini,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Jumat (13/12).
Sementara itu, moderasi sanksi administrasi berupa relaksasi denda dan pengkreditan pajak masuk dalam Omnibus Law Perpajakan. Yoga menyampaikan cara kni akan meningkatkan kepatuhan para WP, dalam konteks bagi WP yang selama ini kurang patuh akan terdorong untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) karena sanksinya tidak seperti sekarang.
“Dengan Omnibus Law Perpajakan, kita juga mendapatkan potensi penerimaan dari e-commerce, terutama untuk PPN atas produk-produk perusahaan over the top (OTT) dari luar negeri yang dibeli konsumen di Indonesia,” imbau Yoga.
Baca Juga: Perumus Omnibus Law: PKP2B yang habis kontrak mesti diserahkan ke BUMN
Di samping itu, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan sebelum implementasi rangkaian relaksasi pajak terjadi di 2021, pemerintah seyogyanya fokus pada strategi tahun depan. Sebab tahun 2020 adalah batu pijakan untuk menentukan kondisi penerimaan pajak saat Omnibus Law Perpajakan diterapkan.
Dengan adanya relaksasi PPh Badan di tahun 2021, Bawono menilai otoritas perpajakan bisa mengoptimalkan pos-pos pajak lain ataupun berdasarkan sektor yang masih potensial tapi belum termaksimalkan. Misalnya pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan desentralisasi pajak daerah ke pusat seperti pajak restoran, hotel, dan parkir kendaraan.
“Selain itu, pastinya meningkatkan kepatuhan wajib pajak, penambahan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, dan utilisasi data Automatic Exchange of Information (AEoI),” ujar Bawono.
Baca Juga: Apindo memproyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 masih menantang
Sehingga, Bawono berharap langkah tersebut dapat menggenjot target penerimaan pajak tahun depan yang dipatok sebanyak Rp 1.642 triliun. Namun demikian, proyeksi DDTC penerimaan pajak tahun 2020 hanya mencapai 87,14%-89,03% dari target atau setara dengan Rp 1.431 triliun-Rp 1.462 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News