Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Destry Damayanti telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di hadapan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Senin (1/7). Destry memaparkan punyai lima strategi sebagai calon DGS BI.
Pertama, optimalisasi kebijakan yang bersifat akomodatif. Untuk merealiasikan makro prudensial dan kebijakan lainnya diperlukan untuk stabilitas keuangan, dan pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan siklus bisnis dan keuangan.
Misalnya dalam situasi mencegah tekanan inflasi yang tinggi dan merespon kenaikan suku bunga global. BI perlu meningkatkan suku bunga acuan BI atau BI 7 Day Rate Repo (BI7-DRR).
Namun, dengan catatan BI harus tetap menjaga likuiditas sektor perbankan. “Dalam menjaga sistem keuangan, harus berpartisipasi dalam menjaga stabilitas keuangan,” tutur Destry.
Kedua, pendalaman sektor keuangan menjadi sangat penting untuk mendukung stabilitas ekonomi, dan juga mendukung pembiayaan pembangunan ekonomi. Terbatasnya sumber daya pemerintah dan logistik, menyebabkan sumber daya dari sektor swasta dan luar negeri menjadi sangat penting.
Destry memaparkan fakta yang ada sektor keuangan masih cenderung volatile. Rasio kredit terhadap PDB Indonesia hanya mencapai 37%. Sementara negara tetangga Thailand 85% dan Malaysia 115%.
Selanjutnya, rasio pasar modal dalam segi kapitasliasi pasar saham terhadap PDB di Indonesia sebesar 46% di mana Thailand mencapai 96% dan Malaysia 110%. Kemudian untuk rasio outstanding obligasi terhadap PDB Indonesia yakni 19%, sementara Thailand 80% dan Malaysia 100%.
Oleh karena itu menurut dia strategi lewat ekosistem keuangan yakni penyedia dana dari segi demand, pengguna dana dari sisi supply, lembaga intermedia sebagai penunjang, asuransi, sekuritas, pengayaan instruemen keuangan, pengayaan infrastruktur dan pendukung lembaga rating.
Di sisi lain, edukasi masyarakat harus kuat bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI harus mendukung sumber pembiayaan baru, penerbitan keuangan baru. Sehingga muncul harmonisasi terhadap instrumen pemerintah.
Ketiga, pengembangan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien dan instrusif. Perkembangan ekonomi digital dibarengi dengan perkembangan finansial yang besar. Dewasa ini, tantang perbankan merambah ke ranah digital sehingga tugas yang selama ini ditangani oleh perbankan teralihkan.
Dari sisi BI, hal ini menjadi tantangan pola transaksi. Sebab pelakunya tidak hanya bank dan non-bank. BI dituntut membuat sistem keuangan. Sebab, metode pembayaran semakin prospektif.
Destry memberi contoh, transaksi digital payment periode Maret 2018 sampai Februari 2019 tumbuh 73%. Sementara volume e-money tumbuh 40% sepanjang 2018. Total nilai transaksi e-money Rp 47 triliun, volume 2,9 miliar dan total e-money instrumen secara kumulatif mencapai 167 juta.
Dalam model bisnis teknologi pembayaran finansial (tekfin payment) paling banyak diminati oleh pelaku bisnis. “Berkembang sangat pesat mendatang, peran BI dalam sistem pembayaran harus kuat, melindungi konsumen, risiko perlu diawasi melalui sistem teknologi yang andal,” kata dia.
Agar bisa menangkap peluang model bisnis ini BI mendukung gerakan pembayaran elektronik dan non-tunai lewat pembayaran jalan tol, pembangunan daerah, dana desa, dan revitalisasi. Dia menekankan dampak dari pembangunan harus berdampak terhadap masyarakat, dengan catatan akses keuangan harus mampu dijangkau masyarakat sampai ke pelosok.
Keempat, Pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia pangsa pasar industri syariah masih sangat rendah. Pada April 2019 hanya mencatat 5,9% industri perbankan, industri 4,2% keuangan non-bank, 16% di pasar modal, dan 8,7% dari total industri keuangan Indonesia.
Sementara data State Global Islamic Economic melaporkan pada 2018-2019 industri halal global, menunjukkan Indonesia hanya ada di peringkat 10 dari produsen produk halal dunia. Jauh dari malaysaia yang berada di posisi 1.
Mirisnya Indonesia malah dijadikan pasar. Indonesia tercatat sebagai importir kelima produk muslim terbesar di dunia. Untuk itu, BI merumuskan strategi yang bertumpu pada tiga pilar.
Pertama, pilar rantai ekonomi halal dari aspek terkecil sampai terbesar, kedua percepatan pengembangan sektor keuangan, ketiga edukasi dan komunikasi. Sampai saat ini langkah BI dalam industri syariah paling menonjol dalam penerbitan sukuk.
Kelima, bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan meliputi OJK, Kemenkeu, DPR RI, Pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Sinergi dengan OJK yakni dalam hal kebijakan makro dan mikro prudensial. Dengan Kemenkeu melalui harmoniasi kebijakan moneter dengan fiskal.
Kemudian, kerja sama dengan pemerintah dan mitra strategis lain guna memperkuat kebijakan sistem pembayaran dan teknologi finansial. Terakhir, peningkatan koordinasi yang baik dengan DPR sebagai wakil rakyat, dalam upaya pembangunan utamanya kepada masyarakat ekonomi rendah untuk mengatasi kesenjangan sosial.
Anggota Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini mengatakan tantangan eksternal dan internal menjadi motivasi dalam merumuskan jurusnya. Tantangan dari gejolak ekonomi global membuat capital outflow sepanjang 2018 cukup signifikan. Sehingga besarnya investasi protofolio turun menjadi US$ 9,31 miliar dari capital outflow pada 2017 sebesar US$ 21,06.
Dari uraian tersebut tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan masih segambreng. Ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi. “Membutuhkan penanganan yang komprehensif dan terintegrasi tidak mungkin hanya dari satu kebijakan bisa menyelesaikan secara tuntas,” kata Destry..
Lebih lanjut dia bilang BI tidak bisa sendiri oleh karenanya dibutuhkan sinergi antar lembaga terkait. Kata dia BI harus lebih jeli, adaptif, dan inovatif dalam mengembangkan kebijakan dan instrument keuangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News