kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Desakan revisi PP 109/2012 soal zat aditif terus mengalir, itu amanat Keppres


Selasa, 22 Juni 2021 / 16:16 WIB
Desakan revisi PP 109/2012 soal zat aditif terus mengalir, itu amanat Keppres
ILUSTRASI. Rokok.


Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif. Koalisi yang terdiri dari berbagai elemen tersebut juga meminta Presiden untuk tegas menyikapi adanya pembantu presiden yang justru menolak proses revisi PP tersebut.

Nafsiah Mboi, Mantan Menteri Kesehatan yang juga bergabung dalam KOMPAK menyatakan, amanat untuk merevisi soal zat adiktif tersebut sudah tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 9/2018. “Proses revisi semestinya dilakukan dalam kurun satu tahun sejak 3 Mei 2018, tapi faktanya, penyelesaian revisi terus tertunda dan penolakan terhadapnya justru bermunculan dari sejumlah kementerian,” kata Nafsiah, Selasa (22/6).

Menurut Nafsiah, Presiden Joko Widodo telah menegaskan kepada jajaran Kabinet Indonesia Maju bahwa menteri tidak boleh memiliki visi misi sendiri dalam tugasnya, tetapi harus bekerja dengan mengacu kepada visi misi Presiden dan wakil Presiden. Namun Nafsiah menyayangkan sikap pembantu presiden yang tak mengacuhkan misi dari presiden untuk menciptakan SDM (sumber daya manusia) unggul tersebut.

Baca Juga: Komnas PT sebut Kemenkes komitmen rampungkan revisi PP 109

“Sekarang epidemi ganda mengancam jiwa rakyat Indonesia saat ini, yaitu epidemi karena penggunaan tembakau dan epidemi covid-19m,” tegasnya. Ia juga menjelaskan, epidemi karena merokok menambah risiko penularan dan mempercepat kematian bila terinfeksi covid-19, sehingga pemerintah, dalam hal ini Presiden bersama para menteri terkait, harus bersatu untuk melindungi masyarakat, sesuai perintah UU No 36/2009 tentang Kesehatan.

Selain Nafsiah, koalisi KOMPAK terdiri dari Yayasan Lentera Anak, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komnas Pengendalian Tembakau, FAKTA Indonesia, dan Indonesia Institute for Social Development (IISD). Semuanya sepakat dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif tersebut.

Perlu diketahui, pada pertengahan Maret 2021 lalu, dalam sebuah webinar yang berlangsung di Jakarta, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan komitmen untuk tetap melanjutkan penyelesaian Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Baca Juga: Pemerintah tak lanjutkan revisi PP pengamanan zat adiktif produk tembakau

Saat itu, pernyataan Menkes memberikan secercah harapan bahwa Pemerintah memang bertekad melindungi masyarakat, khususnya perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dan target pemasaran industri rokok. Namun, hingga hari ini, upaya Kemenkes untuk merampungkan penyelesaian regulasi ini tampaknya mengalami hambatan dari berbagai pihak.

Setelah Menteri Kesehatan membuat pernyataan di atas dan proses revisi kembali berjalan setelah tiga tahun tak kunjung selesai, marak pemberitaan penolakan terhadap Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif Nomor 109 tahun 2012. Mulai dari anggota DPR, DPD, kelompok yang mengatasnamakan petani, asosiasi pengusaha rokok, pengusaha periklanan, hingga Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian.

Utamanya, penolakan tersebut mengatasnamakan petani tembakau dan buruh pabrik rokok, yang disebut-sebut akan menjadi sangat menderita bila revisi PP Pengamanan Zat Adiktif tetap dijalankan.

Berbeda dengan Istanto, seorang petani dari desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang,Jawa Tengah. Istanto justru merasa lebih sejahtera setelah menjadi petani multikultur. “Justru setelah tidak lagi bertani tembakau kehidupan saya menjadi lebih baik. Dulu kami susah sebagai petani tembakau karena pola perdagangan tembakaunya yang dikuasai tengkulak, sehingga merugikan petani tembakau,” kata petani yang kini bertani ubi jalar tersebut.

Asal tahu saja, amanat untuk mengurangi ketergantungan anak terhadap zat adiktif termasuk rokok tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 –2024. “Pemerintah menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada tahun 2024. Sehingga, Revisi PP 109/2012 menjadi sangat penting untuk melindungi anak Indonesia,” tegas Nafsiah.

Merujuk data Riskesdas tahun 2018 lalu, prevalensi merokok anak usia 10 sampai 18 tahun meningkat sebesar 1,9% dari tahun 2013 sebesar 7,2%, menjadi 9,1% di tahun 2018. Padahal RPJMN 2014- 2019 menargetkan perokok anak seharusnya turun menjadi 5,4% pada 2019. “Peningkatan prevalensi perokok anak menjadi bukti lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia, khususnya PP Pengamanan Zat Adiktif,” tambahh Lisda Sundari, ketua Yayasan lentera Anak.

Di sisi lain, Indonesia sudah ratifikasi konvensi hak anak, dimana semua pihak (termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, anggota DPR) terikat untuk melindungi hak anak. Salah satunya, melalui RPJMN adalah komitmen Presiden untuk melindungi hak anak. “Sangat tidak elok apabila membenturkan perlindungan anak dengan kepentingan ekonomi, investasi, dan lain-lain,” ujar Lisda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×