Reporter: Indra Khairuman | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan dialog terbuka antara berbagai pemangku kepentingan serta menerapakan kebijakan industri hijau. Berbagai tantangan yang dihadapi, termasuk akibat pandemi dan dinamika global, memerlukan kolaborasi yang kuat untuk mencapai visi Indonesia sebagai negara dengan penghasilan tinggi di tahun 2045.
Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dalam acara 30 tahun INDEF, menegaskan pentingnya dialog terbuka untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi di Indonesia berbasi pada bukti dan data yang akurat.
Ia menjelaskan bahwa DNA dari INDEF adalah mendorong dialog antar berbagai stakeholder, termasuk pemerintah, pelaku usaha, serta akademisi.
Baca Juga: Kesepakatan Dagang RI-AS Dinilai Berat Sebelah, Indef Beri Tanggapan Begini
Imaduddin menekankan bahwa meski INDEF sudah beroperasi selama 30 tahun, fokus harus terus diarahkan ke masa depan. Menurutnya, Indonesia menghadapi berbagai tantangan rumit dalam upaya mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
“Kami selalu bertanya apakah saat ini Indonesia berada pada posisi atau momentum yang tepat untuk bisa tumbuh di angka 8%,” ujar Imaduddin yang dikutip Kontan.co.id, Kamis (14/8/2025).
Imaduddin menjelaskan juga bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung stagnan di angka 5%. Meski terlihat ada peningkatan menjadi 5,12% pada kuartal II-2025, ia mencatat bahwa potensi pertumbuhan di bawah 5% pada tahun 2025 sangat tinggi.
“Kami di INDEF selalu menyampaikan bahwa oke betul pemerintah menyatakan bahwa pertumbuhan kita ingin di atas 8% itu ya,” jelas Imaduddin.
Ia menegaskan juga bahwa salah satu hambatan utama adalah legasi dari COVID-19, yang memicu output gap antara pertumbuhan sebelum dan sesudah pandemi.
“Kalau misal tidak terjadi pandemi harusnya PDRB per kapita kita sudah jauh lebih tinggi dibandingkan saat ini,” tegas Imaduddin.
Imaduddin juga menekankan dinamika global yang memengaruhi perekonomian Indonesia, termasuk ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.
“Dulu mungkin lawannya hanya dengan China jadi perang dagangnya antara Indonesia dengan China tapi saat ini perangnya tidak hanya Amerika dengan China tapi juga dengan negara-negara tetangga terdekat mereka,” kata Imaduddin.
Baca Juga: Indef: RAPBN 2026 Kontradiktif, Risiko Fiskal Meningkat
Ia menegaskan pentingnya mencari mesin pertumbuhan baru demi mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.
“Salah satu mesin pertumbuhan baru adalah dengan memanfaatkan transisi hijau yang saat ini terjadi di level global,” ucap Imaduddin.
Imaduddin mengajak untuk belajar dari negara-negara yang sukses memanfaatkan transisi hijau, seperti China, yang sudah meningkatkan daya saing di sektor industrinya.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan industri hijau atau grid industrial policy harus didorong sebagai bentuk state-led development.
“Kami percaya bahwa ekonomi kita bisa tumbuh secara sustain jika negara menjadi orkestra dalam pertumbuhan ekonomi tersebut,” tegas Imaduddin.
Imaduddin berharap diskusi yang dilakukan bisa menghasilkan kebijakan yang lebih baik dan menjadi dasar bagi perencanaan masa depan ekonomi Indonesia yang lebih cerah.
“Kami percaya bahwa melalui dialog terbuka ini kita bisa menghasilkan sebuah kebijakan yang baik,” pungkas Imaduddin.
Selanjutnya: Investor China Serbu Indonesia untuk Hindari Tarif AS dan Manfaatkan Pasar Lokal
Menarik Dibaca: MR.DIY Buka Toko Ke 1.100, Gandeng 200 Mitra UMKM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News