kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Demi Menjaga Kinerja, PHK Menjadi Pilihan Terakhir Perusahaan


Kamis, 10 November 2022 / 14:34 WIB
Demi Menjaga Kinerja, PHK Menjadi Pilihan Terakhir Perusahaan
ILUSTRASI. Sejumlah buruh berjalan keluar dari pabrik di Karawang, Jawa Barat,


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi kabar yang sering kita terdengar dalam beberapa bulan terakhir. Kabar perihal PHK tersebut hampir terjadi di seluruh sektor usaha. Sebut saja telekomunikasi, elektronik, lembaga keuangan, industri otomotif, pabrik sepatu, tekstil, hingga BUMN.

Bahkan, perusahaan teknologi global sekelas Apple, Google, Intel, Microsoft, Twitter, Lyft, Stripe, dan lainnya juga memangkas jumlah tenaga kerja. Meta baru-baru ini melakukan PHK ke 13% dari total pekerjanya atau 11.000 orang.

Keputusan PHK terpaksa dilakukan karena perusahaan harus dapat mempertahankan kinerja dan keberlangsungan usaha di tengah kondisi ekonomi global yang melemah.

Baca Juga: Lakukan PHK Massal, Mark Zuckerberg Mengaku Strateginya Salah

Ekonom Universitas Indonesia dan mantan Juru Bicara Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, saat ini kondisi ekonomi global memang tengah terjadi pelemahan sehingga berdampak pada dunia usaha di berbagai sektor.

Keputusan PHK dilakukan sebagai antisipasi dan menjadi langkah terakhir bagi suatu perusahaan untuk mempertahankan bisnis mereka.

Sejatinya, kata Fithra, PHK terjadi bukan karena pelemahan ekonomi di dalam negeri, tetapi terlebih  disebabkan melemahnya ekonomi di negara yang menjadi tujuan ekspor.

“Penyebab PHK itu multifaktor. Perlambatan ekonomi di negara tujuan ekspor memang menjadi salah satu penyebab, di luar itu masih banyak faktor lainnya,” kata Fithra dalam keterangannya, Kamis (10/11/2022).

Diantaranya, lanjut Fithra, adalah tingkat produktivitas. Misalnya, tenaga kerja di Indonesia cenderung stagnan tetapi gaji mereka terus mengalami kenaikan sehingga perusahaan harus melakukan rasionalisasi sesuai dengan kondisi bisnisnya.

Baca Juga: Kemenkeu Catat Utang Pemerintah Hingga September Capai Rp 7.420 Triliun

Kurangnya kemampuan suatu industri dalam berinovasi, kata Fithra, juga dapat menjadi penyebab karena akan kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan sejenis, baik dari dalam negeri maupun perusahaan di negara lain. Bahkan, percepatan digitalisasi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga turut berkontribusi terhadap berkurangnya penyerapan tenaga kerja.

Fithra mengakui bahwa gelombang PHK yang terjadi belakangan ini memang ditenggarai oleh potensi resesi ekonomi global, yang mana inflasi di negara-negara maju mengalami kenaikan cukup signifikan.

Alhasil hal itu membuat suku bunga di negara tersebut dikerek naik oleh bank sentral setempat untuk menekan konsumsi. Dengan menurunnya konsumsi di negara-negara tersebut membuat permintaan terhadap suatu produk akan berkurang dan yang terkena dampaknya adalah negara-negara pengekspor ke negara itu.

Meski demikian, Fithra menegaskan bahwa jika dilihat secara menyeluruh, kondisi perekonomian di Indonesia masih aman dari ancaman resesi. Hal ini terlihat dari makro ekonomi yang bagus, ekonomi tetap tumbuh, dan perdagangan juga masih mengalami surplus.

Baca Juga: 7 Perusahaan Teknologi Dunia Lakukan PHK Massal, Ini Daftarnya

“Kondisi perekonomian Indonesia tidak akan seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Kemampuan di sektor domestik cukup baik. Lebih tepatnya perekonomian Indonesia mengalami perlambatan, tetapi tidak akan sampai pada kondisi resesi,” jelasnya.

Meski demikian, Fithra menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang dapat mengantisipasi dampak resesi meluas. “Misalnya dengan memberikan insentif untuk sektor-sektor yang tengah mengalami pelemahan, seperti insentif harga gas atau listrik, insentif pajak, dan lainnya,” tutur Fithra.

Kementerian Keuangan sendiri telah menyatakan bahwa kondisi Indonesia masih relatif resilien alias memiliki kemampuan untuk bangkit dan pulih, dimana pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 diproyeksikan akan tetap berada di level 5,3 persen dan tahun 2023 berada pada angka 5,0 persen.

Jika dilihat, kinerja APBN hingga Kuartal III 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat yang didukung oleh neraca perdagangan, konsumsi rumah tangga, dan investasi sebagai penopang utama.

Baca Juga: Pemerintah Berencana Permudah Restrukturasi Utang Industri, Ini Kata HIMKI

Penerimaan negara juga masih tinggi dan ini memperlihatkan pemulihan ekonomi yang terus terjaga, kontribusi harga komoditas yang masih di level relatif tinggi serta dampak positif dari berbagai kebijakan pemerintah.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengakui kinerja ekspor Indonesia terdampak akibat kondisi global yang bergejolak. Penurunan permintaan ekspor itu pun mulai terasa dengan terjadinya berbagai PHK di sektor industri.

"Kita perkirakan dari sisi permintaan ekspor akan alami dampak dengan adanya kemungkinan pelemahan di negara maju," ujarnya, Rabu (2/11/2022) pekan lalu.

Oleh karena itu, pemerintah berupaya meningkatkan permintaan dari sisi domestik. Meskipun diakuinya, tidak semua permintaan luar negeri yang turun bisa disubtitusi sepenuhnya dengan permintaan di dalam negeri.

"Namun permintaan tidak mungkin semuanya substitusi kita akan kompensasi. Jadi, kita akan terus melihat dari semua sektor-sektor ini dan kemudian apa kebijakan yang perlu untuk diformulasikan lebih lanjut dalam merespons tren global," jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×